BERITAKALTIM.CO – Langit Balikpapan tak pernah benar-benar sepi dari lalu-lalang anak muda yang mencari arah hidup. Di antara ratusan wajah yang memenuhi kampus-kampus di kota minyak itu, ada satu nama yang menyimpan kisah lebih panjang dari usia mudanya, Reva Abida Az Zahra, mahasiswi Pendidikan Agama Islam (PAI) di STAI Balikpapan. Suaranya lembut, tapi kisah yang keluar dari bibirnya adalah perjalanan yang menuntut keberanian, kesabaran, dan kesadaran memilih jalan yang mungkin tak dipilih banyak teman sebayanya.
Reva duduk dengan rapi, jilbabnya lurus, matanya sesekali menunduk ketika menceritakan bagaimana semua bermula. Dari sebuah kabar sederhana yang dibawa orang tuanya, sebelum ia resmi menjadi mahasiswa.
Ia baru pulang dari pesantren di luar Kalimantan. Badannya masih lelah, tapi hatinya sedang penuh harapan.
“Pas sebelum kuliah, saya dapat informasi Gratispol itu dari orang tua. Karena kebetulan saya mondoknya di luar kota Balikpapan, di luar pulau Kalimantan. Waktu dengar program itu, saya pikir kalau kampus ada bantu daftar, saya ikut. Kalau nggak ada, saya daftar sendiri,” tuturnya saat di wawancara oleh Beritakaltim.co, Selasa (18/11/2025).
Untunglah, STAI Balikpapan membantu proses pendaftaran. Bersama dokumen, harapan, dan restu keluarga, ia mengajukan diri. Hanya beberapa hari setelah itu, kabar gembira datang. Namanya tercantum sebagai penerima beasiswa pendidikan Gratispol tahap pertama.
Ia masih ingat betul ekspresi kedua orang tuanya. Rumah kecil mereka di sudut Balikpapan mendadak seperti lebih lapang.
“Alhamdulillah nama saya ada di daftar. Keluarga semua senang karena dapat program itu,” katanya, matanya berpendar kecil.
Reva tidak berasal dari keluarga yang serba kekurangan, tetapi juga tidak hidup dalam kelimpahan. Ayahnya adalah seorang guru ngaji di SD Istiqomah Balikpapan bukan guru kelas, bukan PNS, bukan pula profesi yang sering terdengar glamor dalam statistik pendapatan. Ibunya ibu rumah tangga, mengurus rumah sekaligus menjadi tempat Reva bercerita setiap hari.
“Kita keluarga sederhana. Sebenarnya kalau bayar UKT ya mampu, tapi kalau bisa dapat Gratispol itu lebih meringankan. Jadi pengen banget dapat program itu, supaya nanti saya bisa lanjut jadi guru PAI setelah lulus S1,” ia menjelaskan dengan polos.
Keinginan menjadi guru agama bukan sesuatu yang tumbuh tiba-tiba. Reva dibesarkan dalam rutinitas yang sarat dengan nilai-nilai keislaman. Ayahnya turun mengajar setiap hari, mengisi waktu dengan mengajarkan huruf per huruf, ayat per ayat, kepada anak-anak. Tanpa disadari, itulah wajah pertama pendidikan yang ia lihat sejak kecil sederhana, tekun, dan jauh dari sorotan.
Masuk STAI Balikpapan adalah keputusan yang lahir dari perhitungan keluarga. Bukan sekadar kedekatan jarak, tetapi kedekatan nilai. Teman-temannya banyak yang memilih kampus lain, tapi orang tua Reva melihat hal yang tidak dilihat remaja seusianya.
“Saya juga sebelumnya mondok, jadi mama ingin yang masih menyangkut agama. Saya juga pengennya begitu. Jadi akhirnya pilih STAI yang dekat dengan rumah,” ujarnya.
Sebelumnya Reva belum bisa mengendarai motor. Jarak jauh menjadi kekhawatiran tersendiri. Kini ia sudah bisa membawa motor, tapi kampus dekat tetap pilihan yang paling masuk akal dan paling aman bagi seorang remaja perempuan yang masih bertumbuh.
Proses pendaftaran Gratispol ia lalui tanpa hambatan. Tidak seperti beberapa temannya yang harus mengulang dokumen UKT karena masalah administrasi. Reva justru seperti mendapatkan jalan yang dibukakan perlahan-lahan.
“Alhamdulillah saya enggak ada kendala sama sekali. Lancar. Kalau teman ada sedikit masalah di UKT, tapi saya tidak,” ceritanya.
Kini, setelah resmi menjadi penerima beasiswa, langkahnya terasa lebih ringan. Ia bisa belajar tanpa memikirkan bagaimana orang tua mengumpulkan biaya. Ia bisa membayangkan masa depannya lebih jelas: seorang guru Pendidikan Agama Islam yang berdiri di depan kelas, mengajarkan Al-Qur’an, akhlak, dan nilai-nilai kehidupan—seperti yang ia lihat dari ayahnya sejak kecil.
Ketika ditanya apa pesan untuk Gubernur Kaltim suaranya terdengar penuh harapan. Ada semacam keikhlasan dari remaja yang baru memasuki usia 19 tahun itu, tetapi juga ada ketegasan bahwa program seperti Gratispol bukan sekadar bantuan, melainkan jembatan hidup banyak keluarga di Kaltim.
“Semoga program Gratispolnya lancar. Kalau masa jabatan sudah habis, semoga pemerintahan selanjutnya tetap melanjutkan. Program ini sangat membantu orang-orang,” katanya.
Dalam usianya yang masih belasan, Reva tidak meminta banyak. Ia tidak berbicara tentang ekonomi besar, tentang tata kelola anggaran, atau tentang politik. Ia hanya meminta agar kesempatan itu tidak putus.
”Masih banyak anak-anak seperti saya, yang ingin sekolah tanpa memberatkan orang tua. Yang ingin bangkit dari kesederhanaan, dan meraih cita-cita yang di impikan.” pungkasnya.
Reva menutup ceritanya dengan senyum kecil senyum yang menyimpan rasa syukur dan cita-cita yang sudah mulai mendapatkan bentuknya. Dari pondok di luar pulau, ke kampus kecil di Balikpapan, hingga sebuah kelas masa depan yang ia impikan, perjalanan itu terus bergerak. Pelan, pasti, dan penuh keyakinan.
Ia hanya ingin menjadi guru. Tapi di balik keinginan sederhana itu ada cerita panjang tentang akses pendidikan, tentang peran negara, tentang harapan keluarga, dan tentang seorang anak perempuan yang percaya bahwa ilmu adalah jalan keluar yang paling terang.
Dan Gratispol bagi Reva adalah tiket pertama menuju masa depan itu.
YANI | WONG | ADV Diskominfo Kaltim
Comments are closed.