KUMANDANG Kemerdekaan bangsa Indonesia, yang telah diproklamirkan Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, kemudian mengubah jajahan Hindia Belanda menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), membentang dari Sabang hingga Merauke. Namun pekik kemerdekaan itu tidak sampai ke pelosok negeri. Hal itu disebabkan minimnya sarana komunikasi, walaupun ada pasti akan dirampas Jepang.
Berita kemerdekaan hanya terdengar di Pulau Jawa dan tidak sampai ke Kalimantan dan masuknya Hindia Belanda atau tentara NICA, hal itu sudah dianggap biasa dan lumrah bagi rakyat Kalimantan. Karena berita kemerdekaan itu tidak terdengar pada anak negeri. Setelah mendengar kepastian Proklamasi 17 Agustus 1945, didahului dengan bertekuk lututnya Jepang pada Sekutu di tanggal 14 Agustus 1945.
Sewaktu pendaratan tentara Sekutu yang telah dibonceng NICA, mendengar berita kemerdekaan tersebut kemudian rakyat Kalimantan pada tanggal 10 Oktober 1945, meresmikan berdirinya Pemerintah Republik Indonesia Daerah dengan ibu kota Banjarmasin, kemudian rakyat menyambutnya dengan mengibarkan bendera Merah Putih pertama kalinya
berkibar di bumi Kalimantan.
Selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Amerika di bawah komando atau pimpinan Sir Thomas Albert Blamey, kemudian menyerahkan Kalimantan kepada NICA, sebelumnya daerah Kalimantan sudah terbentuk, pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno telah mengangkat Pangeran Ir Muhammad Noor, sebagai gubernur pertama Kalimantan, dengan Ibukota Banjarmasin, dan pada saat itu berkedudukan di Jogjakarta.
Sejak 20 Oktber 1945, pemerintahan Provinsi Kalimantan yang sebelumnya sudah terbentuk sebelumnya. Kemudian NICA yang dipercaya untuk membenahi pemerintahan sipil, dengan sesuka hatinya membekukan tatanan pemerintahan daerah dengan alasan tidak berjalan. Karena dikendalikan NICA, akibat dari pembubaran tersebut, membuat rakyat murka, sehingga melakukan perlawanan.
Melihat perlawanan rakyat Kalimantan, kemudian NICA mulai melakukan mengerahkan sejumlah kapal-kapal perangnya untuk memblokade pengadangan di laut sepanjang perairan Kalimantan. Dengan maksud blokade tersebut untk mencegah masuknya’ “Inflileran” bantuan dari luar dari para pejuang luar daerah, berupa bantuan logistik dan persenjataan terhadap barisan pejuang Kalimantan.
Dengan adanya blokade dari sejumlah kapal Hindia Belanda tersebut sehingga menghambat dan mengalami kegagalan. Salah seorang petinggi Kalimantan Pangeran Ir Muhammad Noor, yang juga sebagai gubernur, dan masih berkedudukan di Jogjakarta, mendukung penuh perjuangan rakyatnya, juga ikut bertanggung jawab atas lepasnya Kalimantan dan jatuh ke tangan Belanda.
Perlawanan Rakyat Kalimantan Pangeran Ir Muhammad Noor mengadakan rapat di Jogjakarta dengan salah seorang putra terbaik Kalimantan. Dia adalah “Tjilik Riwut”, dari hasil pertemuan tersebut, telah mengambil kesimpulan dan jalan satu-satu untuk masuk dengan alternatif, harus masuk dengan menerobos blokade, agar sampai ke Kalimantan, pilihan diambil dengan segala risiko untuk mengirim logistik melewati udara.
Namun bagaimana caranya agar terealisasi bantuan logistik dari Pulau Jawa melewati udara. Pilihan tersebut belum ada jawabannya, Kemudian pada tanggal 25 Juli 1947, Gubernur Kalimantan Pangeran Ir Muhammad Noor, bersurat kepada Kasau, Komodor Udara “Surjadi Sudarma”. Surat dalam waktu singkat dibalas, memberikan dukungan kepada gubernur, untuk mengirim bantuan pasukan dengan cara diterjunkan dari udara, berdasarkan surat perintah harian Jenderal Sudirman No 323/PB/47/I.
Berdasarkan surat perintah harian Panglima Jenderal Sudirman, itulah Komodor Udara Surjadi Sudarma, menggelar latihan dan persiapan untuk menerjunkan pasukan payung sebagai perintis ke Kota Waringin Kalimantan Tengah. Untuk mempersiapkan pasukan payung yang bakal dan diterjunkan khusus di Kalimantan Tengah (Kalteng), kemudian dibentuklah suatu staf khusus di bawah Komodor Udara Surjadi dan mengangkat Mayor Udara Tjilik Riwut.
Dengan diangkatnya Mayor Udara Tjilik Riwut, untuk menjalankan misi tugas sebagai Perwira Markas Besar Tentara (MBT), Tjilik Riwut difungsikan sebagai komandan pasukan payung, dalam misi penerjunan, kemudian direkrutlah anggota penerjun sebanyak 60 orang dari Kalimantan, dan 12 orang berasal dari Sulawesi, serta beberapa orang dari Pulau Jawa dan Madura, untuk mengikuti seleksi pelatihan, sebelum ditetapkan sebagai penerjun dalam tugas nanti.
Pelatihan dilakukan sangat singkat dengan cara latihan simulasi, menggunakan parasut bekas dari hasil sitaan milik tentara Jepang. Latihan itu memang sangat singkat hanya berjalan satu minggu, materi latihan bersifat “teori” dan tata cara bagai mana cara meloncat dari pesawat udara. Serta bagai mana cara mengendalikan parasut, dan pendaratan dengan cara baik, karena semua peserta yang direkrut pada umumnya tidak pernah terjun menggunakan parasut.
Dari sekian banyak dan yang berhasil direkrut merupakan putra-putra terbaik, mereka selain terbaik juga dianggap kuat dan dapat melakukan tugas dan misi dengan baik. Mereka yang dikirim dan akan diterjunkan untuk memperkuat pertahanan di Kalteng dan pada umumnya Kalimantan. Sehingga terpilih sebagai tim penerjunan inti (khusus) sebanyak 12 orang merupakan putra terbaik asli Kalimantan.
Ke 12 orang itu dua berasal dari Kalimantan Timur (Balikpapan), mereka masing-masing, 1 Iskandar, 2 Dahlan, (Sampit/Kalteng)), 3. J. Bitak dari Kelapa Baru (Kalteng), 4. C. Wilems berasal dari Kuala Kapuas (Kalteng), 5. J Darius berasal dari Kasungan (Kalteng), 6 Achmad Kosasih berasal dari Mahulu (Kalteng), 7 Bachri berasal dari Barabai (Kalsel), 8. Morawi dari Rantau Pulut (Kalsel), 9. Ali Akbar berasal dari Balikpapan, 10. Djarmani berasal dari Balikpapan (Kaltim), 11. M Aminuddin berasal dari Kayan Hulu (Kalteng), 12 Emanuel dari Kayan Hulu (Kalteng).
Selain 12 penerjunan payung terpilih dan terbaik mereka akan diterjunkan semuanya berasal dari Kalimantan nantinya juga akan disertakan dari anggota AURI yang mempunyai tugas khusus mengenai PHB Radio, yaitu Kapten Udara Harry Hadi Sumantri dan seorang anggota TRIP asal Semarang, serta seorang ahli Telegrafis, yaitu Kapten FM Sujoto berasal dari Ponorogo, misi ini melibatkan Mayor Udara Tjilik Riwut.
Misi penerjunan ini, akan diterjunkan juga satu Set Radio Pemancar Tipe BC – 375 dan Radio penerima tipe BC-348 lengkap dengan aki, bahan bakar, bahan makanan, serta sejumlah obat-obatan. Sasaran penerjun payung di sekitar Kota Waringin di Kalimantan Tengah, misi tersebut terutama memasang Radio Pemancar dan penerima di Kalimantan Tengah.
Sedangkan misi kedua (2) mengoperasikan radio, gunanya agar bisa terhubung dengan pemerintah Republik Indonesia (RI) di Pulau Jawa. Kemudian pada Misi ke Tiga (3) harus membentuk dan menyusun pasukan gerilyawan, yang direkrut dari “Suku-Suku Dayak” Pedalaman. Kemudian yang ke 4 harus membuat ‘Dropping Zone”, untuk penerjunan lanjutan lainnya segera akan menyusul.
Pada hari H, waktu yang telah ditentukan, tanggal 17 Oktober 1947, bertepatan pada hari Jum’at, sekitar pukul 01.30 dini hari waktu setempat. Pesawat Dakota RI 002, dengan Kapten Pilot Robert Earl Frebeg, salah seorang penerbang warga negara Amerika Serikat, dibantu ko pilot Opsir Udara III, Makmur Suhondo telah siap di “Kokpit” pesawat, kemudian para penerjun sebanhyak 15 orang dengan senjata lengkap berbaris satu persatu menaiki pesawat Dakota.
Ke 15 penerjuan tersebut langsung dipimpin Tjilik Riwut, yang juga sebagai penunjuk jalan bagi pesawat Dakota RI 002, untuk menuju titik koordinat atau daerah sasaran “Dropping” di sekitar Kota Waringin. Sebagai komandan tim pasukan payung telah ditunjuk Letnan Udara II, Iskandar, serta sebagai “Jumping Master Opsir Muda Udara III” di pegang Amir Hamzah.
Setelah itu pesawat Dakota RI 002 di pagi buta telah “ Take off” dan kemudian meninggalkan landasan Lapangan Udara Maguwo-Jogjakarta menuju “Heading”031 drajat dengan “attitude” 9000 feet”. Sekitar pukul 05.30 ketika fajar semakin menyingsing dan sorot mata hari mulai menerangi bumi, pesawat Dakota RI 002 mulai merendah dan memasuki wilayah Kalimantan Selatan, kawasan ini cukup berhutan lebat, semak belukar dan berawa-rawa.
Sekitar pukul 07.00 tepat, pesawat yang membawa sejumlah penerjun itu sudah berada di atas persiapan penerjunan. Pesawat mula-mula mengadakan satu putaran untuk melihat situasi dan kondisi serta arah angin. Kemudian pasukan telah berdiri bersiap-siap satu persatu di depan pintu keluar pesawat, di mana selama ini semua penerjunan tidak pernah melakukan, dan ini merupakan yang pertama di Indonesia.
Setelah bunyi “dering panjang” isyarat dari pesawat dalam Dakota, sejumlah penerjunan bersiap-siap. Jumpping master memerintahkan untuk segera meloncat satu-persatu, dan memastikan seluruh parasut terbuka dan mengembang secara sempurna. Dari rencana semula berjumlah 15 penerjun, dalam pelaksanaannya hanya berjumlah 14 orang yang dapat diterjunkan, sedangkan satu orang tidak bisa karena Darjani mengalami stress serta usia sudah tua.
Ke 14 orang penerjun itu kemudian melayang-lawang di udara Kalimantan Barat. Pesawat Dakota RI 002 kembali ke arah Selatan menuju pulau Karimun Jawa, sewaktu posisi pesawat berada di atas Gunung Muria, pesawat melakukan terbang rendah, untuk menghindari patroli udara, yang dilakukan pesawat pemburu “P-51 Mustang dan P-40 “Kitty Hawk” yang berpangkalan di Kali Banteng, Semarang.
Sekitar pukul 11.00 waktu setempat pesawat Dakota mendarat di lapangan terbang Maguwo-Jogjakarta dengan selamat. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 8 jam lamanya, sedangkan sisa bahan bakar tinggal 20 menit (waktu mengudara). Jika terjadi dengan hal yang tidak diinginkan dan diketahui oleh pesawat pemburu tersebut, kita sudah tidak bisa membayangkan, karena melihat persediaan bahan bakar yang sangat minim, dengan sisa waktu 20 menit.
Dalam penantian yang penuh harap laporan dari tim penerjun belum masuk di markas, tim penerjun payung pertama Indonesia sudah lima hari sejak tanggal 17 Oktober 1945, membuat semua orang yang berada di markas pasukan dan yang berada di Jogjakarta MN 1001 (belum menerima laporan) atau mendapat informasi. Kontak berita dari pedalaman rimba Kota Waringin (Kalimantan). Segala kemungkinan bisa terjadi dengan ke 14 penerjun tersebut, hal itu bisa saja terjadi di luar rencana.
Kemungkinan itu bisa saja terjadi dengan 14 penerjuan tersebut, walaupun Mayor Udara Tjilik Riwut menyaksikan langsung. Semua parasut telah mengembang dengan sempurna, kemudian Tjilik Riwut kembali mengirimkan utusan dari Jogjakarta ke pedalaman Kalimantan, untuk mengadakan pembentukan batalion Gerilya, sekalian mencari informasi, apa yang terjadi dengan ke 14 penerjun pertama itu.
Utusan yang dikirim kembali ke Kalimantan adalah “Domay, merupakan wakil kepala Staf pasukan MN 1001, Letnan Abdul Sjukur Rachman selaku wakil komandan Sektor Tenggara, dan Letnan Manapol Muhammad, sebagai Koordinator. Dan Dhomber, pemuda yang pernah ikut latihan terjun bertugas mengorganisir perjuangan pertempuran di sekitar kota Waringin.
Diawali dengan ke 14 orang anggota penerjun pertama dengan senjata lengkap mendarat di “Dusun Sambi” Kota Waringin, Kalimantan Tengah. Dusun ini terletak di tengah hutan belantara serta berawa dan bahkan hampir tidak hubungan dengan dunia luar sama sekali. Walaupun kondisi terpencil di antara penduduk masih mempunyai rasa pengertian tentang apa yang terjadi di sekitar Proklamasi Kemerdekaan.
Walau sempat terpisah dengan beberapa anggota penerjun lainnya, dua hari kemudian para penerjun dapat bertemu kembali, namun salah seorang anggota lainnya masih terpisah. Pada saat penerjunan pasukan, juga disertakan peralatan komunikasi, namun mereka tidak bisa diketemukannya. Berupa alat komunikasi dan peralatan lainnya, rencananya untuk di pasang dan berhubungan dengan ke pemerintah pusat terhambat.
Keberadaan pasukan payung yang berada di dalam hutan telah diketahui dan terlacak, sehingga pasukan KNIL dikerahkan untuk segera menangkap hidup-hidup para penerjun payung Indonesia yang berlindung di dalam hutan tersebut. Para penerjun masuk dan menyusup ke desa-desa, serta bersembunyi semak-semak dan berawa-rawa, pada Minggu 23 November 1947 tempat persembunyian mereka tercium oleh pihak Kolonial.
Keberadaan mereka di Desa Mujang, telah diketahui pihak Kolonial berkat adanya laporan dari pihak mata-mata. Sementara pasukan payung yang tersisa berjumlah sembilan orang, terpisah karena terjadi baku tembak dengan pihak pengejar (Belanda) dan diputuskan mereka berpencar, suatu ketika salah seorang, yang kelelahan tertidur, pada subuh itu dia terkepung dari segala penjuru disertai dengan tembakan, akhirnya Achad Kosasi, Iskandar dan Hari Sumantri gugur.
Sembilan orang lainnya terus diburu dan mereka bercerai berai dan akan bertemu di suatu tempat. Dalam pelarian mereka terus dikejar, namun sayangnya mereka tertangkap satu persatu hingga di bawa pengadilan pada tanggal 7 Maret 1947, mereka diganjar hukuman kurungan badan.
Sedangkan salah seorang anggotanya Morawi diputus bebas. Untuk ke 9 orang penerjun lainnya dipenjara di Nusa Kambangan dan setelah masa tahanan habis mereka bebas pada Oktober 1949.
Dari semua peristiwa tersebut di atas, maka pada tanggal 17 Oktober, telah ditetapkan sebagai hari lahirnya Penerjun Payung Indonesia yang sebelumnya diawali pada penerjunan di Kalimantan pada 17 Oktober 1947, oleh AURI, di Desa Sambi Kota Waringin Kalimantan Tengah, merupakan salah satu titik awal dari sejarah lahirnya Pasukan Payung (PGT) Pasukan Gerak Cepat-AU.
Hal itu dikuatkan dengan keputusan Menhankam Pangab No: 54 Tanggal 12 Oktober 1947. Penerjun Pasukan Payung yang pertama di Indonesia. Pasukan PGT telah berganti nama menjadi Kopasgat (Komando Pasukan Gerat Tjepat – AU) dan terakhir menjadi Korps Paskhas-AU (Pasukan Khas TNI AU), inilah putra-putra terbaik Indonesia, khususnya putra
Kalimantan, yang kemudian menjadi cikal bakal hari lahirnya hingga saat ini.#
Penulis:Muhammad Asran/Pemerhati Sejarah|Editor: Hoesin KH
Comments are closed.