SAMARINDA, beritakaltim.co- Pengesahan UU Minerba yang dilakukan oleh DPR RI pada Selasa, 12 Mei 2020 mendapat tanggapan yang beragam baik dikalangan politisi hingga kalangan masyarakat umum. Pasalnya, UU Minerba yang baru saja disahkan tersebut terdapat beberapa pasal yang dinilai merugikan daerah dan negara.
Salah satu yang menentang pengesahan UU Minerba datang dari politisi Domokrat yang juga anggota Komisi V DPR RI, Irwan Fecho.
Menurutnya dengan disahkannya UU tersebut sudah secara langsung melunturkan semangat otonomi daerah dan UU tersebut belum saatnya disahkan karena masih banyak drafnya yang harus dibahas.
“Fraksi Demokrat menolak pengesahan UU Minerba, selain melunturkan semangat otonomi daerah juga merugikan daerah yang terkena dampak eskploitasi SDA nya. Kami mengganggap UU tersebut harus dibahas dulu draftnya,” tuturnya saat dikonfirmasi via whatsApp, Kamis (14/5/2020).
Lebih lanjut, Irwan menjelaskan, UU tersebut sangat menguntungkan pengusaha dan posisi daerah menjadi lemah.
“Tanggung jawab terhadap isu-isu lingkungannya masih jauh, justru sangat menguntungkan pengusaha kemudian posisi daerah sebagai pemangku wilayah jadi lemah padahal yang potensi lingkungannya rusak, sumber daya alam nya habis adalah pemerintah daerah. Masih banyak yang harus bahas makanya ditolak dulu,” ucapnya.
Sementara di sisi lain, Anggota Komisi II DPRD Kaltim mengatakan pihaknya di daerah tidak punya kekuatan lebih karena UU tersebut wewenang pusat.
“Kita kan punya perwakilan di DPR RI khusus yang membidangi itu, bagaimana perjuangannya untuk kaltim. Kaltim ini salah satu daerah penghasil SDA yang mumpuni, jangan sampai daerah kita dikeruk terus sementara tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat kaltim,” tegasnya.
Pendapat yang sama datang dari ketua Forum Pemuda Peduli Pembangunan Kalimantan Timur (FPPPK), Sudirman.
Menurutnya dengan disahkan UU Minerba oleh DPR RI di tengah Pandemi Covid 19 menegaskan bahwa negara kalah dengan korporasi.
“Saat ini sedang terjadi wabah Covid 19, jangan-jangan pemerintah kita ini mengambil kesempatan di tengah kesengsaraan yang ada. Dengan adanya beberapa pasal kontroversial, kami minta pemerintah daerah khususnya kaltim bertindak,” tegasnya.
Adapun beberapa pasal yang dianggap kontroversial yakni antara lain;
1. Pasal 1 ayat (13a) Ada ketentuan baru bernama Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), yakni izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. Pasal ini dinilai membuka ruang rente baru.
2. Pasal 1 ayat 28a.
Pasal ini mengatur bahwa Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen. Definisi yang baru ada di UU anyar ini mengancam ruang hidup masyarakat karena seluruh kegiatan, mulai dari penyelidikan hingga pertambangan masuk dalam ruang hidup masyarakat.
3. Pasal 4 ayat 2.
Pasal ini mengatur bahwa penguasaan mineral dan batu bara diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dalam UU lama, pasal itu juga memberikan kewenangan untuk pemerintah daerah. UU Minerba baru ini mengatur semua kewenangan perizinan tak lagi ada di pemerintah daerah, melainkan ditarik ke pusat. Sentralisasi ini dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
4. Pasal 22.
Pasal 22 huruf a dan d tentang kriteria menetapkan WPR telah membuka ruang bagi penambangan di sungai dengan luas maksimal 100 hektar, setelah mengubah luas maksimal sebelumnya 25 hektar.
5. Pasal 42 dan Pasal 42A.
Pasal ini dianggap mempermudah pengusaha pertambangan mineral dan batu bara dalam menguasai lahan dalam jangka waktu yang lebih lama untuk keperluan eksplorasi. Sebelumnya waktu yang diberikan untuk eksplorasi adalah 2 tahun. Dengan UU baru, pengusaaan tanah dalam skala besar oleh pengusaha tambang setidaknya 8 tahun dan dapat diperpanjang satu tahun setiap kali perpanjangan. Penguasaan lahan lebih lama ini dinilai berpeluang untuk land banking.
6. Dihapusnya Pasal 83 ayat (2) dan (4) UU Minerba Lama.
Pasal 83 ayat (2) UU Minerba lama mengatur batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan mineral logam paling banyak 25 ribu hektare. Adapun Pasal 83 (4) UU lama menyebut batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan batu bara paling banyak 15 ribu hektare.
7. Pasal 162 dan 164.
Dua pasal ini dinilai membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Pasal 162 menyebut bahwa “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Adapun Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162. Sanksi tambahan itu berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
8. Dihapusnya Pasal 165 UU Minerba Lama.
Pasal 165 dalam UU Minerba lama memuat sanksi pidana bagi pejabat yang korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Pasal itu menyebut, “Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah).”
Namun ketentuan ini hilang dalam UU baru. Sejumlah pihak menilai hilangnya UU ini membuka celah bagi korupsi di bidang minerba.
9. Pasal 169A.
Pasal ini mengatur tentang perpanjangan kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa melalui lelang. KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan otomatis 2×10 tahun tanpa harus mengurangi perluasan wilayahnya. Padahal, UU yang lama mengatur kawasan harus dikembalikan kepada negara setiap habis kontrak dan dilelang ulang. Pasal dalam UU anyar ini dinilai membuka celah perpanjangan sejumlah perusahaan raksasa minerba yang akan selesai masa kontraknya.
10. Pasal 169B ayat (5).
Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Produksi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi kepada menteri untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan. Pasal ini dianggap memberikan keistimewaan bagi pemegang IUPK untuk mendapatkan konsesi tambahan. #
Wartawan: Heriman
Comments are closed.