BeritaKaltim.Co

Kita Perlu UU Perubahan Iklim

Salam Perspektif Baru,

Ari Mochammad
Ari Mochammad

Kali ini kita akan bicara mengenai strategi menyusun Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang ditujukan dalam rangka penurunan emisi gas rumah kaca. Tamu kita untuk berbincang mengenai INDC adalah Dr. Ari Mochammad dari Thamrin School sekaligus merupakan CEO dari GreenVoice Institute.

Menurut Ari, Hampir semua negara terkena dampak perubahan iklim sekarang, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang sering kali mengalami badai. Ini menjadi tantangan bersama dan harus komitmen global. INDC merupakan komitmen global maka harus menjadi kesepakatan nasional yang dituangkan dalam suatu konsensus bersama oleh para pemangku kepentingan kunci yang harus terlibat dalam urusan ini, baik elemen masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah.

Persoalannya adalah INDC mulai berlaku pasca 2020. Jadi sebuah kebijakan yang akan berlaku pasca 2020 tapi ditetapkan oleh pemerintah saat ini. Pertanyaan kuncinya adalah apa daya pengikatnya. Kita dihadapkan dengan persoalan kebijakan lima tahun saja kadang berubah dengan cepat atau yang sudah ditetapkan lima tahun berikutnya diubah oleh rezim berikutnya. Karena itu salah satu instrumen pengikatnya adalah bagaimana kita mendorong sebuah undang-undang (UU), yang saya bisa mengatakan untuk sementara UU Perubahan Iklim, memiliki daya jangkau yang lebih panjang dan luas.

Berikut wawancara Perspektif Baru dengan narasumber Ari Mochammad dan sebagai pewawancara Ansy Lema. Wawancara lengkap dan foto narasumber dapat pula dilihat pada situs http://www.perspektifbaru.com. Lewat situs tersebut Anda dapat memberikan komentar dan usulan.

 

Apa yang dimaksud dengan INDC?

Intended Nationally Determined Contribution (INDC) merupakan sebuah komitmen yang diharapkan oleh para pihak (parties) di dalam perundingan perubahan iklim di bawah United Nations Conference on Climate Change (UNFCCC). Parties adalah negara yang didasari oleh satu keprihatinan terhadap efek pemanasan global yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK). Berdasarkan laporan kelima atau terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa dampak perubahan iklim sudah dapat dipastikan memberikan efek yang luar biasa terhadap ekosistem, bumi, dan manusia.

Sudah separah apa lingkungan hidup saat ini?

Dalam laporan keempat IPCC menyatakan bahwa upaya-upaya penurunan emisi GRK dinilai kurang optimal sehingga kemudian memberikan pengaruh dan dampak yang merugikan terhadap bumi, yaitu efek pemanasan global sangat merugikan kita. Hampir semua negara sekarang terkena dampak perubahan iklim, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang sering kali mengalami badai.

Pemanasan global memberikan dampak luar biasa di Indonesia diantaranya merugikan perkonomian. Itu karena capaian-capaian atau target-target prioritas ekonomi Indonesia hampir sebagian besar masih bergantung kepada ekonomi berlandaskan alam, diantaranya pertanian dan perikanan yang sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Bila terkena, maka otomatis ekonomi mikro sebuah wilayah terganggu. Kalau hampir semua wilayah mengalami bencana seperti itu, maka dalam konteks makro ekonomi akan menjadi ancaman.

Siapa yang paling berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan hidup?

Ada dua pendapat. Pertama, pendapat konvensional yang menyebut negara-negara besar sebagai biang keladi dari pemanasan global. Itu karena mereka memulai pemanasan global akibat mengkonsumsi energi fosil sejak revolusi industri. Tapi jangan dilupakan bahwa dalam konteks yang kedua mengatakan bahwa bagaimana pun juga pertumbuhan ekonomi negara berkembang di masa depan berpotensi meningkatkan GRK. Misalnya, negara-negara seperti Cina, India, atau Indonesia masih meletakkan bahan bakar fosil sebagai basis untuk menstimulasi energi dan industri.

Artinya INDC berawal dari keprihatinan bahwa emisi GRK mengancam kelangsungan hidup di bumi ini.

Ya, hal yang mengakibatkan fenomena pemanasan global.

Berbagai komitmen dilakukan pada tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam rangka menahan laju emisi GRK. Bagaimana efektivitas perundingan yang dilakukan dalam konteks UNFCCC?

Komitmen belum bisa disebut komitmen bila kesepakatan tidak dituangkan dalam langkah-langkah yang lebih operasional atau implementasi. Dalam konteks implementasi banyak faktor yang menjadi hambatan sehingga efektivitas pemanasan global tidak optimal. Misalnya, sinkronisasi kebijakan transportasi dan energi seharusnya memiliki korelasi yang erat. Kalau satu sisi kita ingin membangun transportasi yang ramah terhadap lingkungan, maka harus ditunjang dengan energi yang ramah lingkungan. Selain itu tata ruang. Bagaimana tata ruang mengacu kemudian disepakati dan dilaksanakan secara konsisten. Misalnya, tata ruang satu kawasan merupakan kawasan ruang terbuka hijau, jangan kemudian beralih menjadi kawasan industri.

Bagaimana pendapat Anda mengenai negara-negara di dunia yang hanya bagus pada sisi konsep namun buruk pada saat implementasi?

Sebenarnya kesadaran sudah mulai membuka mata negara-negara tersebut, sehingga ada komitmen yang lebih dalam dan lebih besar dalam upaya pengurangan GRK. Itu karena dampaknya sudah terasa.

Apa bentuk konkritnya? Misalnya Indonesia, apa regulasi yang bisa menjadi rujukan untuk memperlihatkan bahwa memang Indonesia punya kesungguhan dan keseriusan untuk menekan emisi GRK.

Beragam regulasi sudah banyak dikeluarkan. Regulasi yang bersifat sektor, misalnya, sekarang di beberapa kementerian sudah meletakan isu perubahan iklim sebagai mainstream. Itu karena pada akhirnya target program-program kebijakan yang sudah direncanakan sektor akan terancam oleh perubahan iklim. Jika kemudian itu dinafikan maka banyak dikeluarkan beragam sektor. Lalu peraturan atau regulasi atau kebijakan yang terkait tata kelola lingkungan sudah banyak dikeluarkan, tetapi kemudian optimalisasi pelaksanaannya yang kurang, karena banyak sekali hambatannya.

Di mana hambatannya?

Konsistensi kesepakatan yang sudah dibuat oleh sektor-sektor ini karena pendekatan pembangunan masih sektoral.

Apakah pengintegrasian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa dipandang sebagai komitmen pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla menjawab pengurangan emisi GRK?

Kalau dilihat dari sisi perspektif yang positif, penggabungan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan memiliki logika yang cukup sederhana. Kehutanan dianggap sebagai persoalan lingkungan termasuk kebakaran hutan, artinya dianggap sebagai persoalan yang serius. Kalau hal itu diletakkan, maka sekarang kehutanan tidak lagi dilihat sebagai sectoring extractif terhadap alam, tapi kemudian di bawah kerangka lingkungan yang baik. Jadi seharusnya dengan digabungkannya lingkungan dan kehutanan, sekarang tata kelola kehutanan akan lebih banyak dimensi lingkungannya.

Artinya lebih menghiraukan aspek ekologis. Tapi mengapa pada sektor transportasi ketergantungan terhadap energi fosil masih cukup kuat?

Analisisnya cukup luas. Banyak yang mengatakan bahwa sektor transportasi sangat terkait dengan politik transportasi atau industri yang masih berpihak pada industri kendaraan mobil yang tidak ramah lingkungan. Ini persoalan tekanan dunia otomotif, pangsa pasarnya masih banyak dibeli oleh negara-negara yang masih belum menetapkan standar industri otomotif yang cukup kuat, pasarnya ada di Indonesia. Kemudian persoalan-persoalan membangun sistem transportasi yang ramah lingkungan. Contoh ketika sebagian masyarakat sepakat bahwa untuk membenahi sistem transportasi harus berbasiskan sistem transportasi publik. Namun faktanya masyarakat dihadapkan dengan pembangunan-pembangunan infrastruktur yang justru mendorong pertumbuhan kendaraan pribadi.

Jadi, apakah INDC perlu menerapkan strategi yang implementatif di masa depan?

Ya, karena INDC akan berlaku pasca 2020.

Pasca 2020 artinya pasca pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla. Apakah efektif?

Ini menjadi tantangan karena merupakan komitmen global maka ini harus menjadi kesepakatan nasional yang dituangkan dalam suatu konsensus bersama oleh key stakeholders atau para pemangku kepentingan kunci yang harus terlibat dalam urusan ini, baik elemen masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah. Selanjutnya dalam penyusunannya, open platform harus dibangun, bagaimana peran pengurangan GRK tidak hanya dibebankan pada pemerintah, tetapi melibatkan sektor swasta dan juga kelompok masyarakat yang saat ini sudah banyak melakukan praktek-praktek lingkungan dengan baik, sehingga bukan hanya melibatkan pemerintah.

Artinya sinergi antara negara, korporasi, dan masyarakat sipil harus terjalin.

Ya, harus terjalin dan harus diakui kemudian diletakkan pada konteks konsensus. Jadi ketika berbicara masalah implementasi, pengakuan dan dukungan dari elemen masyarakat sipil dan dunia usaha akan lebih terjaga. Itu karena di dalam prosesnya mereka ikut membangun dan akan muncul ownership. Persoalannya adalah maukah kita membangun sinergi ini sebagai konsensus nasional yang melibatkan berbagai pihak secara genuine.

Apa strategi yang digunakan sehingga implementatif?

Persoalannya adalah sebuah kebijakan yang akan berlaku pasca 2020 tapi ditetapkan oleh pemerintah saat ini. Pertanyaan kuncinya adalah apa daya pengikatnya. Kita dihadapkan dengan persoalan kebijakan lima tahun saja kadang berubah dengan cepat atau yang sudah ditetapkan 5 tahun berikutnya diubah oleh rezim berikutnya. Karena itu salah satu instrumen pengikatnya adalah bagaimana kita mendorong sebuah undang-undang (UU), yang saya bisa mengatakan untuk sementara UU Perubahan Iklim, memiliki daya jangkau yang lebih panjang dan luas.

Apakah saat ini Undang-undang tersebut sudah masuk dalam prioritas legislasi di parlemen?

Belum, karena dianggap bahwa isu perubahan iklim susah dicerna dan diadopsi oleh berbagai kementerian.

Bagaimana mendorong isu ekologi atau lingkungan hidup menjadi mainstreaming issue apalagi dalam rangka mendorong INDC?

Caranya dengan meletakkan isu lingkungan sebagai basis di dalam pertumbuhan ekonomi dan sosial. Melalui cara ini, keberlanjutan sosial, budaya masyarakat, dan ekonomi di dalamnya akan terjamin jika kita memperhatikan lingkungan dengan baik. Pembelajaran dari berbagai negara yaitu sebuah negara akan hancur karena tata kelola lingkungannya hancur, sehingga daya dukung untuk mempertahankan kehidupan mereka yang di dalamnya ada aktivitas ekonomi juga ikut hancur. Karena itu, jangan sampai kita masuk ke dalam kondisi tersebut. Jadi sebaiknya tidak lagi meletakkan isu lingkungan sebagai jargon.

Proses INDC harus melibatkan partisipasi tidak hanya negara tapi juga koorporasi dan masyarakat sipil. Bagaimana menurut Anda proses yang tengah berlangsung saat ini?

Komitmen pemerintah dalam hal ini adalah sektor-sektor yang bertanggung jawab menyusun dan mengoordinasikan sudah berjalan dengan baik. Kemudian optimalisasinya dinilai belum cukup karena proses penyusunan membutuhkan input dari para pelaku, diantaranya masyarakat sipil dan sektor swasta membutuhkan ruang dan waktu yang lebih panjang.

Apakah proses ini sudah terbuka sehingga melibatkan publik dan multi stakeholders yang bisa berperan dalam memberikan kontribusi pemikiran?

Menurut saya belum optimal. Itu karena keterbatasan preferensi pihak-pihak yang sudah memiliki pengalaman keterlibatan langsung terhadap hal ini. Hal itu dapat terbuka kalau ruang dan waktunya cukup. Tapi di sisi lain, INDC dibatasi waktu sehingga diharapkan kesepakatan muncul pada Desember 2015. Menurut saya, itu bisa terkejar jika penyelenggara yang memfasilitasi penyusunan INDC memiliki agenda yang jelas, lalu dalam setiap agenda memiliki target yang jelas.

Kemudian yang perlu disampaikan dalam INDC, walaupun semangat utamanya adalah pengurangan GRK, tetapi elemen didalamnya mencakup adaptasi perubahan iklim.
Adaptasi perubahan iklim yaitu memikirkan strategi-strategi untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Itu karena dampak perubahan iklim sudah terjadi seperti dampak terhadap aspek pertanian, kelautan, kota-kota mengalami misalnya banjir dan juga kerusakan. Berikutnya harus bisa mengantisipasi terjadi penyesuaian tata kelola pembangunan dengan kondisi yang kita alami saat ini.

Apakah akar persoalannya karena ruang partisipasi publik yang belum dibuka cukup luas atau masih ada masalah paradigma diantara stakeholder?

Dua-duanya. Masalah paradigma karena persoalan ini dianggap sebagai persoalan sektor. Lalu yang lebih mendasar adalah keterlibatan semua pihak yang didasarkan konsensus nasional yang harus dilakukan oleh negara, bukan pemerintah. Artinya, individu-individu yang ada di dalamnya ikut bertanggung jawab. Kemudian pendekatan yang dituangkan dalam satu rangkaian agenda yang jelas. Saat bicara sektor, harus ada koordinasi dan ada koordinator yang melakukan fungsi koordinasi. Kalau ini bisa ditetapkan dengan jelas dan cukup memberikan ruang, maka artinya memberikan ruang yang bisa menjamin orang yang terlibat juga memiliki kapasitas dan tanggung jawab di dalamnya.

Kerap kali kita mendengar orang bicara pembangunan berkelanjutan yang harus hirau terhadap lingkungan hidup. Orang menyatakan sustainable development harus dibangun berdasarkan 3P, People, Planet, dan Profit. Bagaimana mensinergikan antara people, planet dan profit?

Menurut analisis subyektif saya, pertama adalah sistem instrumen pembangunan untuk menghitung keuntungan lingkungan seperti apa, beda dengan keuntungan ekonomi yang bisa diukur. Analisis subyektif yang lain mengatakan mengenai masalah paradigma dan pemahaman. Jika private sektor memiliki pemahaman terhadap isu lingkungan, mereka akan menyadari bahwa keberlanjutan ekonomi akan lebih terjamin jika memperhatikan aspek lingkungan. Itu karena kecederungan dunia ke depan, konsumen akan mencari produk-produk ramah lingkungan karena akan terkait efisiensi ekonomi. Sekarang kecenderungan koorporasi atau produk-produk yang tidak ramah lingkungan akan ditinggalkan. Jadi sebetulnya menjadi sebuah keharusan. Tapi selanjutnya bagaimana dalam konteks kebijakan yang dituangkan dalam instrumen-instrumen yang bisa diukur. Kita bicara soal ekonomi lingkungan, hal itu sudah sejak 10 atau 15 tahun lalu, tapi jarang dijadikan instrumen pembuatan kebijakan.

Apa harapan Anda terhadap pemerintahan Joko Widodo dan DPR saat ini karena mereka yang memiliki kewenangan atau otoritas membuat legislasi?

Indonesia dipandang dalam konteks perundingan internasional sebagai negara yang cukup besar dan berpengaruh. Dalam konteks geografi dan topografi, selain dikenal sebagai negara yang besar, juga dianggap sebagai negara yang rentan. Kita punya pulau-pulau kecil yang akan terancam jika terjadi peningkatan permukaan air laut, sehingga menyebabkan kita memainkan leadership dalam perundingan, tetapi juga di dalam internalnya juga harus menunjukkan komitmen yang baik.

Pembelajaran yang diikuti oleh warga negaranya hanya bisa dilakukan kalau komitmen itu dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintahnya. Saya akan berperan jika komitmen diikuti dengan keseriusan pemerintahnya. Sebaliknya kalau tidak konsisten, maka masyarakat juga akan menilai tidak serius. Sekarang kuncinya adalah pertama di level internasional kita memerankan peran yang penting dengan posisi yang baik dan komitmen yang bisa ditunjukkan secara positif.

Kedua, secara domestik atau nasional kita menunjukkan keseriusan dan melaksanakan komitmen-komitmen yang sebetulnya sudah dimiliki. Indonesia banyak memiliki regulasi, bicara masalah lingkungan, bukan lagi berbicara masalah pilihan teknologi, tapi politik dan komitmen untuk melaksanakannya. Tidak lagi berbicara masalah pilihan teknologi karena ada di pasar. Sudah banyak pilihan-pilihan yang bisa kita lakukan.

Apa closing statement sekaligus kesimpulan diskusi hari ini?

Bicara isu perubahan iklim, bukanlah isu yang dibawa oleh kepentingan satu negara atau satu region tertentu. Ini adalah kepentingan global bersama karena bumi hanya ada satu. Saya mengacu pendapat ahli lingkungan Emil Salim yang menggambarkan secara sederhana bahwa isu perubahan iklim seperti sebuah pesawat dimana di dalamnya ada kelas bisnis dan ekonomi. Tapi ketika pesawat jatuh, tidak ada satu individu pun yang selamat. Nah, bumi seperti itu, tidak ada negara maju atau negara berkembang. Ketika bumi ini rusak, maka individu-individu yang ada di dalamnya akan ikut sakit, dan kita harus mencegahnya.

—ooo000ooo—

 

KETERANGAN:

Yayasan Perspektif Baru bekerjasama dengan Yayasan Konrad Adenauer memproduksi program PERSPEKTIF BARU, dimuat sebagai sindikasi empat koran se-Indonesia, yaitu Harian Jogja, Joglo Semar Solo, B Magazine, Harian Pagi Siwalima, dan Rimanews.com

Naskah ini merupakan transkrip wawancara radio yang disiarkan sindikasi ratusan stasion radio melalui Jaringan Radio KBR, Jaringan Radio Antero NAD, Bravo FM Palangkaraya, Gemaya FM Balikpapan, Metro RGM Purwokerto, Global FM Bali, Lesitta FM Bengkulu, Maya Pesona FM Mataram, Pahla Budi Sakti Serang, Poliyama FM Gorontalo, BQ 99 FM Balikpapan, Gita Lestari Bitung, Dino FM Samarinda, Genius FM Pare-Pare, Civica FM Gorontalo, Shallom FM Tobelo Maluku Utara, Marss FM Garut, Sangkakala FM Banjarmasin, M83 FM Kutai Kartanegara, RPFM Kebumen, BFM Bangka Belitung, Sehati FM Bengkulu, Gemma Satunama Yogyakarta, BPKB FM Gorontalo, Suara Pangaba Balikpapan, RDP Kutim, Mutiara FM.

PERSPEKTIF BARU ONLINE : www.perspektifbaru.com
E-mail : yayasan@perspektifbaru.com

Hak cipta pada Yayasan Perspektif Baru, faks. (021) 722-9994, telp. (021) 727-90028 (hunting)

Comments are closed.