SAMARINDA, beritakaltim.co- Fahrizal SP gagal memperkarakan Saiful ke Bawaslu Samarinda karena tetap masuk dalam DCT (Daftar Calon Tetap) partai Gerindra, padahal tidak melengkapi dokumen pemberhentian sebagai pejabat publik dari Gubernur Kaltim.
“Bawaslu menolak permohonan kita. Entah, kemana lagi kita bisa mengadu. Mencari keadilan,” kata Fahrizal kepada beritakaltim.co, Kamis (28/2/2019).
Dia telah berupaya agar Pemilu Legislatif berjalan fair, di mana semua pesertanya telah memenuhi syarat. Seorang pejabat publik, apakah itu gubernur, PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan anggota DPRD yang telah pindah partai saat nyaleg, harus berhenti dari jabatannya dan semua fasilitas negara termasuk gaji tidak diberikan lagi.
“Kita sudah diperiksa dalam persidangan Bawaslu. Semua pihak sudah melihat data dan fakta, bahwa Saiful belum melengkapi persyaratannya, yakni Surat Pemberhentian sebagai anggota DPRD Samarinda. Malah anehnya, SK Gubernur yang sudah keluar itu bukan diserahkan kepada KPU sebagai dokumen memenuhi persyaratan, tapi digugat ke PTUN. Artinya apa? Dia membangkang aturan undang-undang yang mewajibkan dia berhenti sebagai anggota DPRD,” cerita Fahrizal, yang kini maju sebagai Caleg Hanura untuk DPRD Kota Samarinda, Dapil Samarinda Ilir dan Samarinda Kota.
Selain Saiful yang dianggapnya TMS (Tidak Memenuhi Syarat) sebagai peserta Caleg Pemilu 2019 adalah Adhi Agustiawarman F, Mashari Rais, Alphad Syarif dan Akhmed Reza S. Kelimanya adalah anggota DPRD Samarinda yang telah pindah partai dan bergabung ke Partai Gerindra, namun tetap ‘merasa’ masih menjadi anggota DPRD dari partai asalnya.
Menurut Fahrizal yang mestinya menjadi pengganti antarwaktu (PAW) Saiful, dia adalah korban dari Undang-undang MD3 dan PKPU (Peraturan KPU). Negara telah kalah oleh aksi kelima anggota DPRD itu.
Sementara Supriyana, praktisi hukum yang menjadi pengacara dari Fahrizal juga melihat persoalan yang terjadi di DPRD Samarinda adalah kerusakan sistim demokrasi. Kelima anggota DPRD itu tetap berada di DPRD mewakili partai asalnya, tapi juga menjadi calon legislative dari partai lain, yakni Gerindra.
“Ini ada kekacauan demokrasi. Saya melihatnya sebagai upaya mempolitiki hukum,” ujar Supriyana berpendapat.
Maksud dari mempolitiki hukum itu adalah bagaimana para politisi ini berusaha mencari celah-celah kelemahan hukum dan memasukinya dengan perhitungan waktu berupa jadwal-jadwal yang berlaku dalam sistim Pemilu.
Contohnya adalah gugatan dari warga yang mengaku sebagai konstituen darin kelima anggota DPRD Samarinda itu. Gugatan ke pengadilan negeri Samarinda itu sudah tidak diterima oleh majelis hakim, tapi kelima warga mengajukan banding untuk mengulur waktu kasus tetap hidup di pengadilan tinggi, bahkan mungkin sampai Mahkamah Agung.
“Proses waktu itu, dalam pikiran mereka, para politisi ini tetap bertahan sebagai anggota DPRD,” pendapat Supriyana.
Fahrizal dan Supriyana sedang mempertimbangkan untuk membawa masalah ini ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Sebab ada masalah integritas dari penyelenggara Pemilu, baik itu Bawaslu dan KPU Samarinda.
“Ini terlihat rangkaiannya. Akses-akses yang terhubung antara Bawaslu, KPU dengan siapa-siapa saja yang terlibat dalam usaha mempertahankan kelima anggota DPRD Samarinda ini,” tutup Fahrizal. #le
Comments are closed.