BERITAKALTIM.CO- Berita tentang Basuki Tjahaya Purnama (BTP) alias Ahok masih selalu menarik perhatian. Bahkan sempat jadi trending topik, akibat informasi Pertamina mengalami kerugian Rp11,3 Triliun. BTP menjadi sasaran bullyng di media sosial lantaran hal itu terjadi ketika Ahok menjadi Komisaris Utama di BUMN itu.
Sudah bisa diduga bagaimana hiruk pikuknya media sosial. Kubu-kubu yang pernah menjadi pembenci Ahok bermunculan dengan berbagai komentar menyudutkan. Diantaranya dari kalangan eks 212 dan juga aktifis yang bergabung di organisasi KAMI bentukan Din Syamsudin Cs.
Mulai dari Rizal Ramli, Said Didu dan Tengku Zul, memberikan tanggapannya atas ruginya Pertamina. Tapi sasaran bullying dan ejekan warganet hanya kepada Ahok. Walau banyak juga yang memberi tanggapan membela, karena kerugian itu terjadi disaat pandemi Covid-19 dan hampir semua perusahaan migas diseluruh dunia juga mengalami kerugian yang sama.
Bullying terhadap Ahok itu dimulai saat muncul berita PT Pertamina (Persero) pada Semester 1 tahun 2020 mencatatkan kerugian sebesar US$ 767,92 juta atau sekitar Rp 11,33 triliun (asumsi kurs Rp 14.766/ US$). Padahal pada periode yang sama tahun lalu pencapaian laba bersih sebesar US$ 659,96 juta.
Sudah ada penjelasan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif tentang Pertamina rugi itu. Ia menuturkan kerugian ini merupakan dampak dari terjadinya pandemi Covid-19 yang dirasakan berbagai perusahaan, termasuk Pertamina.
“Secara general, kita bisa memaklumi karena semua perusahaan terdampak (Covid-19),” tutur Arifin kepada anggota Komisi VII DPR RI pada Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rabu (26/8/2020).
Pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan permintaan bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, pelemahan kurs juga turut menyumbang kerugian perseroan pada paruh pertama tahun ini.
PT Pertamina (Persero) menyebut kerugian di Semester I ini utamanya disebabkan oleh faktor melemahnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Menurut Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini kerugian itu dikarenakan harga jual eceran produk minyak dan gas perusahaan menggunakan mata uang rupiah, sedangkan pencatatan laporan keuangan menggunakan dolar AS.
Ditambah lagi, lanjutnya, pemerintah berutang kompensasi Rp 96 triliun dan subsidi Rp 13 triliun yang belum dibayar, sehingga ini berkontribusi terhadap 60 persen dari rugi kurs perseroan.
“(Pelemahan) kurs berdampak signifikan karena pembukuan kami fundamentalnya adalah US$. Semua pencatatan dibukukan dalam US$ dan terdampak signifikan oleh piutang kita kepada pemerintah dalam IDR (rupiah),” tuturnya saat RDP di Komisi VII.
Utang pemerintah berkontribusi besar pada rugi kurs perseroan, maka pihaknya mengharapkan pemerintah bisa segera membayar utang tersebut. Dengan demikian, ini bisa mengurangi rugi kurs perseroan.
“Jadi, dengan dukungan pemerintah yang tadi disampaikan dengan dukungan Bapak Ibu di Komisi VII akan melakukan pembayaran, ini akan sangat membantu kami menekan rugi kurs karena ini magnitude besar. Kami hedging (lindung nilai) di market (pasar) pun tidak ada flow-nya, tidak liquid. Di market untuk hedging sebagai mitigasi kurs itu untuk currency Rp 100 triliun lebih,” paparnya.
Selain itu, kerugian pada semester I 2020 ini juga dikarenakan menurunnya harga minyak mentah dunia pada kuartal kedua yang menyentuh angka US$ 19-20 per barel dibandingkan Desember 2019 yang berada pada tingkat US$ 63 per barel.
“Penurunan harga minyak ini sangat berdampak pada margin di hulu. Padahal margin di hulu menyumbang EBITDA terbesar mencapai 80%,” ungkapnya.
Dia pun mengatakan penurunan permintaan bahan bakar minyak (BBM) dari masyarakat juga menjadi penyebab kerugian pada paruh pertama ini. “Kondisi kali ini bahkan lebih berat daripada kondisi krisis keuangan,” ujarnya.
BULAN JULI 2020 PERTAMINA SUDAH LABA LAGI
Informasi kerugian Pertamina yang terlanjur membully Ahok adalah terjadi pada semester I 2020. Sementara memasuk bulam Mei dan Juli kondisinya sudah berubah. PT Pertamina (Persero) seperti dilaporkan pada sebuah media online, optimistis dapat membalikan keadaan dari rugi pada Semester I-2020 menjadi laba pada akhir tahun ini.
Optimistis tersebut terbangun setelah melihat data penjualan hingga laba yang diraih pada Juli 2020. Volume penjualan pada bulan tersebut mencapai 6,9 juta Kilo Liter (KL) atau meningkat 5% dibandingkan Juni 2020 yang 6,6 juta KL. Sementara, dari sisi nilai penjualan, pada Juli berada di kisaran US$ 3,2 miliar atau terjadi kenaikan sebesar 9% dari bulan sebelumnya yang mencapai US$ 2,9 miliar.
Pertamina meraih laba bersih bulanan di Juli sebesar US$ 408 juta atau sekitar Rp 6 triliun (kurs Rp 14.722). Hal ini berdampak kerugian Pertamina turun menjadi menjadi US$360 juta atau setara Rp 5,3 triliun. Sementara pada bulan sebelumnya kerugian masih di atas Rp 11 triliun.
“Salah satu shock yang dialami pada masa pandemi Covid-19 adalah penurunan demand BBM, namun seiring pemberlakuan adaptasi kebiasaan baru dan pergerakan perekonomian nasional, tren penjualan Pertamina pun mulai merangkak naik. Kinerja kumulatif Juli juga sudah mengalami kemajuan dan lebih baik dari kinerja kumulatif bulan sebelumnya,” ujar Fajriyah Usman, Vice President Corporate Communication Pertamina di Jakarta (27/8/2020).
Menurut Fajriyah, periode Februari hingga Mei 2020 merupakan masa-masa terberat Pertamina dengan volume demand yang terus mengalami penurunan tajam akibat pandemi Covid-19. Ditambah penurunan pendapatan di sektor hulu, total pendapatan Pertamina, yang tercantum dalam Laporan Keuangan Unaudited Juni 2020, turun hingga 20%.
Fajriyah juga menyampaikan dengan penurunan pendapatan yang signifikan, maka laba juga turut tertekan. Pada pada Januari 2020, Pertamina masih membukukan laba bersih positif US$ 87 juta. Namun memasuki 3 bulan selanjutnya, mulai mengalami kerugian bersih rata-rata US$ 500 juta per bulan.
Untuk mengatasi kondisi ini, lanjut Fajriyah, manajemen Pertamina telah berhasil menjalankan strategi dari berbagai aspek baik operasional maupun finansial, sehingga laba bersih pun beranjak naik sejak Mei sampai Juli 2020 dengan rata-rata sebesar US$ 350 juta setiap bulannya. Pencapaian positif ini akan terus mengurangi kerugian yang sebelumnya telah tercatat.
“Mulai Mei berlanjut Juli, dan ke depannya, kinerja makin membaik. Dengan Laba Bersih (unaudited) di Juli sebesar US$408 juta, maka kerugian dapat ditekan dan berkurang menjadi US$360 juta atau setara Rp 5,3 triliun. Dengan memperhatikan trend yang ada, kami optimistis kinerja akan terus membaik sampai akhir tahun 2020,” katanya.
Selain itu, kinerja Laba Operasi dan EBITDA juga tetap positif, sehingga secara kumulatif dari Januari sampai dengan Juli 2020 mencapai US$ 1,26 milyar dan EBITDA sebesar US$ 3,48 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa secara operasional Pertamina tetap berjalan baik, termasuk komitmen Pertamina untuk menjalankan penugasan dalam distribusi BBM dan LPG ke seluruh pelosok negeri serta menuntaskan proyek strategis nasional seperti pembangunan kilang.
“Tentu saja, perbaikan kinerja tidak semudah membalikkan tangan, perlu proses dan perlu waktu. Sekarang ini, sudah terlihat dengan kerja keras seluruh manajemen dan karyawan, kinerja Pertamina mulai pulih kembali,” katanya.
Menariknya, berita keuntungan Pertamina mulai bulan Mei dan Juli 2020 tidak begitu direspon oleh warganet yang terlanjur membully Ahok. #le
Comments are closed.