BeritaKaltim.Co

G20 Bali dan Kisah Anak Medan Dijambret Geng Monyet Uluwatu

INI kejadian sebenarnya. Dialami oleh Charles Siahaan, peserta Media Gathering Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan di Pulau Dewata, Bali, 16-18 Maret 2022. Saat menikmati lokasi wisata Pura Luhur Uluwatu Desa Adat Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, yang banyak monyetnya, tiba-tiba kacamatanya dijambret.

Kejadian itu, Kamis (17/3/2022) sore. Sebanyak 52 Wartawan dari seluruh Kalimantan (Kaltim, Kaltara, Kalbar, Kalteng dan Kalsel) datang untuk menonton suguhan Tari Kecak yang digelar reguler setiap jam 17.00 Wita. Namun, lantaran masih ada waktu sebelum dimulai pertunjukan, pria yang akrab dengan panggilan Bang Ucok itu menyempatkan melihat-lihat spot-spot Pura yang menawan di atas bukit berhadapan langsung dengan laut dan matahari terbenam.

Menjelang menaiki tangga ke atas bukit, cerita Ucok, terlihat ada seekor monyet memperhatikannya. Warna bulunya kelabu dengan ekor panjang. Ketika itu, wartawan dari rombongan Kaltim itu juga memperhatikan Si Monyet dan melewati saja. Namun baru beranjak sekitar 3 meter tiba-tiba ada sesuatu yang meloncat di balik punggungnya. Dan, “breet” kacamata yang sedang dipakai pemimpin redaksi beritakaltim itu secepat kilat berpindah tangan.

“Cepat sekali gerakan monyet itu,” tutur Charles.

Kejadian tiba-tiba itu membuat pria kelahiran Medan itu kaget sekaligus panik. Maklum, kacamata adalah ‘modal’ untuk beraktifitas sehari-hari. Tanpa kacamata plus itu penglihatannya terganggu. Dia tidak bisa membaca atau mengetik berita.

“Ini monyetnya ngolok-ngolok lagi. Setelah dia dapat kacamatanya, monyet itu menghadap ke saya dan mencoba memakai kacamata di matanya. Jarak dari saya sekitar satu setengah meter. Jadi saya tidak bisa menjangkaunya,” cerita dia.

Tak lama datang petugas wisata Uluwatu. Dia segera melemparkan makanan ke monyet itu. Satu kali dilempari makanan, monyetnya tidak menggubris dan malah lari sekitar sepuluh meter lagi. Namun pada lemparan makanan yang kedua, monyet tadi langsung mengambil makanan itu dan melepas kacamata yang dipegangnya.

“Disimpan saja kacamatanya. Tidak usah dipakai,” saran pawang monyet tersebut setelah kacamata kembali ke tangan Charles.

Usut punya usut. Kejadian serupa tidak hanya menimpa Charles. Peserta Media Gathering lainnya, Dhebe dari Balikpapan, juga dijambret kacamatanya oleh monyet. Dia berusaha mengejar, tapi sang monyet lebih cepat dan menghilang.

“Tapi keesokkannya kacamata saya dikembalikan, karena monyetnya meninggalkan di tanah dan diambil oleh petugas wisata di sana. Waktu kejadian si petugas mencatat identitas saya dan tempat menginap. Jadi, langsung dikembalikannya,” cerita Dhebe.

Kisah yang lain juga terjadi pada Novi Abdi, Wartawan dari Balikpapan. Kacamatanya juga dijambret monyet namun bukan terjadi saat itu, tapi jauh hari sebelumnya ketika dia berkesempatan berada di tempat wisata Uluwatu. Novi lebih sial, karena kacamatanya setelah dijambret langsung dibawa lari dan dibuang dari jurang ke laut.

Beda dengan Charles dan Dhebe yang kacamatanya bisa kembali, Novi harus pasrah kehilangan kacamata.

Perilaku monyet-monyet Pura Uluwatu cukup terkenal nakalnya. Sejak dari dalam bis wisata yang ditumpangi Wartawan, pemandu Ni Made Handani sudah mengingatkan rombongan Media Gathering Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan untuk menyimpan kacamata, handphone atau barang berharga lainnya.

“Monyet di sana agresif,” ujar pemandu. Tapi, banyak saja wisatawan tidak menggubris dan akhirnya mengalami gangguan.

Di lokasi Pura itu terdapat ratusan monyet. Menurut cerita petugas di sana, setidaknya terdapat empat geng (komunitas) monyet yang berperilaku “agak-agak kriminal”.  Dua kelompok pertama adalah komunitas monyet dengan perilaku geng preman yang terkatagori sudah mahir beraksi kepada pengunjung. Geng ini lihai melakukan penjambretan, tapi dengan tujuan tertentu bernegosiasi barter dengan makanan.

Sedangkan kelompok lainnya belum ‘jago’, namun kelihatan berusaha mempelajari untuk bisa berbuat kriminal agar bertukar dengan makanan.

Petugas di sana sudah berusaha agar perilaku hewan-hewan primata itu tidak seperti geng preman, yakni menyarankan wisatawan tidak membawa makanan untuk dibagikan kepada monyet-monyet itu. Karena memberikan makanan akan membentuk perilaku monyet-monyet mengejar para wisatawan yang datang ke kawasan ‘kekuasaan’ para monyet.

Namun, rupanya primata ini termasuk hewan cerdas-cerdas, karena terbukti dengan menjambret barang-barang wisatawan, terlebih kalau harganya mahal, maka peluang negosiasi dan barter makanan untuknya sangat besar pula.

“Geng monyet ini kok mirip-mirip geng manusia, ya!” komentar Charles Siahaan setelah mendapat penjelasan dari pawang monyet di sana.

BALI MASIH MENANGIS

Pulau Dewata, Bali, semasa pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir memang terlihat banyak berubah. Kehidupan turisme belum begitu ramai kembali. Sejumlah toko sepanjang jalan pantai Kuta dan Legian yang dulu semarak, banyak yang tutup. Para pengusaha memilih menutup toko lantaran tidak ada lagi pembeli, terutama turis-turis asing.

“Masih sepi Pak. Pandemi membuat masyarakat Bali menangis. Kita berdoa saja pandemi segera berakhir,” ujar Sidik, supir travel.

Beberapa jalan-jalan kecil seperti Jalan Sahadewa Legian, Gang Poppies yang melegenda, berubah penampakan dengan banyak corat-coretan di toko-toko yang tutup. Malah kesannya kumuh, dan rawan jadi tempat ngumpul geng dan berbuat kriminal.

Di sana-sini terdapat tulisan ‘disewakan’ atau ‘rent’, namun menurut warga tidak ada lagi pengusaha yang berminat membuka usaha saat ini. Harga sewanya juga tergolong mahal.

“Harga sewa satu toko bisa ratusan juta setahun,” ujar Ni Made Handani di atas bis wisata. Dia tak menjelaskan berapa ukuran tokonya.

Cerita-cerita warga seperti diutarakan Sidik, kehidupan di Bali menyedihkan. Warga yang kehidupannya sangat bergantung dari pariwisata harus pandai-pandai mengubah mata pencariannya. Banyak pedagang yang tidak lagi menjual souvenir, tapi menjual tisu. Bahkan masuk ke usaha jasa pindah.

“Seperti saya dan teman-teman bikin usaha jasa pindah. Karena toko-toko itu kan tutup dan barang-barangnya dipindah. Mereka perlu jasa pindah,” cerita Sidik.

Kehidupan yang keras juga membuat warga ada yang sampai bunuh diri. Sebagian lagi meninggalkan Pulau Dewata dan mencari kehidupan di tempat-tempat lain.

Sidik dan warga lainnya berharap, Bali dibebaskan saja. Karena status pandemi covid-19 yang ditetapkan pemerintah bagi warga di sana begitu menyiksa, padahal saat ini warga di Bali sudah menganggap situasi normal-normal saja.

“Kemarin waktu pemerintah mencabut kewajiban swab dan antigen bagi penumpang pesawat terbang, warga Bali sangat gembira sekali. Ini peluang kondisi normal kembali,” ujarnya.

Ya, saat ini, menurut Sidik, pemerintah dan warga sangat menunggu pelaksanaan G20 yang puncaknya bakal digelar di Bali sekitar bulan Oktober 2022. Setelah Indonesia resmi memegang keketuaan atau Presidensi G20 yang sudah mulai berlaku sejak 1 Desember 2021, maka diharapkan event-event internasional hadir kembali.

Event-event internasional G20 akan dihadiri kepala negara dari seluruh penjuru dunia. Dengan demikian ini kesempatan Indonesia dan masyarakat Bali untuk mengirim pesan ke seluruh warga dunia, bahwa negeri ini sudah aman-aman saja dari pandemi Covid-19 dan para kepala negara membolehkan warganya untuk kembali berwisata ke Pulau Bali.

“Amin. Ya, begitu harapan kami, Pak,” ujar Sidik. #

Wartawan: Charles Siahaan

Comments are closed.