BERITAKALTIM.CO — Di ruang sidang panel Mahkamah Konstitusi (MK) yang berpendingin sejuk dan berlampu putih terang, suasana hening berubah menjadi penuh konsentrasi. Pagi itu, Selasa, 21 Oktober 2025, MK menggelar sidang pendahuluan uji materi terhadap sejumlah undang-undang strategis yang menjadi dasar hukum pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh seorang warga negara bernama Astro Li, yang dengan tegas mempertanyakan validitas dan efektivitas beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, berikut revisinya melalui UU Nomor 21 Tahun 2023, serta dua undang-undang lain yang mengatur tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ), yakni UU Nomor 2 Tahun 2024 dan UU Nomor 151 Tahun 2024.
Sang Pemohon: “Mengapa Harus Menunggu Keputusan Presiden?”
Bagi sebagian orang, langkah Astro Li mungkin tampak berani, bahkan nekat. Tapi bagi dirinya, gugatan ini bukan tentang politik, melainkan soal prinsip hukum dan kecepatan administrasi negara.
Dalam ruang sidang, dengan suara tenang namun tegas, Astro Li menyampaikan argumentasinya: menurutnya, sejumlah norma dalam undang-undang IKN dan DKJ menghambat percepatan pemindahan ibu kota negara, karena mensyaratkan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) terlebih dahulu sebelum pemerintah bisa memulai penyelenggaraan pemerintahan di Ibu Kota Nusantara.
“Seharusnya, saat Undang-Undang IKN diundangkan, Nusantara sudah otomatis memiliki kedudukan, fungsi, dan peran sebagai ibu kota negara. Tidak perlu menunggu Keputusan Presiden,” ujarnya di hadapan majelis hakim MK.
Ia berargumen bahwa pasal-pasal seperti Pasal 4 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 39 UU IKN, serta beberapa pasal dalam UU DKJ, justru menunda implementasi undang-undang itu sendiri — padahal semangatnya adalah mempercepat transisi pemerintahan.
Dalam pemaparannya, Astro Li membawa gagasan menarik — sebuah transisi ibu kota yang tumpang tindih namun fungsional.
Menurutnya, tidak ada keharusan hukum yang melarang Jakarta dan Nusantara menjadi ibu kota negara secara bersamaan untuk sementara waktu.
“Pemindahan ibu kota tidak harus berarti mematikan peran Jakarta secara mendadak.
Jakarta masih bisa menjadi ibu kota bersama Nusantara selama masa peralihan,” jelasnya.
Pendapat ini mengundang perhatian publik dan para pengamat hukum tata negara. Sebagian menilai ide tersebut logis — sebagai bentuk transisi lembut (soft transition) antara dua pusat pemerintahan — sementara yang lain menganggapnya justru bisa menimbulkan dualisme administrasi negara.
Sidang di Tengah Simbol Perubahan
Sidang ini berlangsung di tengah situasi menarik: pembangunan fisik di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur tengah dikebut, sementara di sisi lain, Jakarta mulai berbenah menjadi Daerah Khusus dengan karakter baru — pusat ekonomi dan budaya tanpa beban status “ibu kota”.
Di luar ruang sidang, isu ini menjadi perbincangan hangat. Sebagian warga mendukung percepatan pemindahan agar Nusantara segera berfungsi penuh, sementara sebagian lainnya khawatir bahwa pemindahan yang terburu-buru bisa menimbulkan ketidaksiapan administratif.
Bagi banyak orang, permohonan uji materi yang diajukan oleh Astro Li ini bukan sekadar urusan teknis. Ia menggambarkan kegelisahan sebagian masyarakat yang ingin melihat transformasi ibu kota berjalan lebih cepat, lebih efisien, namun tetap sesuai konstitusi.
“Kita membutuhkan keputusan hukum yang jelas. Jangan sampai pemindahan ibu kota tersandera oleh persoalan administratif,” kata seorang pengamat hukum dari Universitas Indonesia yang hadir memantau sidang.
Meski hanya sidang pendahuluan, langkah ini dianggap monumental. Mahkamah Konstitusi akan menilai apakah benar norma-norma yang digugat bertentangan dengan semangat percepatan pembangunan nasional, atau justru diperlukan demi menjaga tatanan konstitusional.
Jika gugatan ini diterima, bukan tidak mungkin pemerintah akan diminta mengubah mekanisme hukum pemindahan ibu kota, sehingga Nusantara bisa segera beroperasi penuh tanpa menunggu keputusan administratif tambahan.
Menunggu Putusan: Antara Jakarta dan Nusantara
Kini, masyarakat menanti langkah berikutnya dari Mahkamah Konstitusi. Akan kah lembaga ini membuka jalan percepatan pemindahan ibu kota, atau mempertahankan tatanan hukum yang telah ditetapkan pemerintah dan DPR?
Apapun hasilnya, sidang ini telah menorehkan babak baru dalam sejarah hukum tata negara Indonesia. Sebuah babak di mana pertarungan ide, hukum, dan visi pembangunan berpadu di ruang sidang — menegaskan bahwa perjalanan menuju Nusantara bukan sekadar soal beton dan gedung, tetapi juga soal tafsir hukum dan semangat perubahan bangsa.
WONG
Comments are closed.