BONTANG, BERITAKALTIM.com – Perseteruan antara DPRD Bontang dan Badak LNG kian meruncing. Pasca beda pendapat soal keberadaan Beras Basah yang dianggap menjadi adangan pembangunan kilang minyak di Kota Taman, para legislator kini menyebut perusahaan dengan lambang api merah menyala itu kelewat arogan.
Bakhtiar Wakkang dari Fraksi Partai Nasional Demokrat di DPRD Bontang menyatakan, keberadaan portal disemua akses dan titik jalan masuk menuju kompleks perumahan pengolah gas cair atau LNG itu menjadi bukti diskriminasi Badak terhadap Pemkot Bontang, khususnya masyarakat.
Dimana, mereka yang ingin masuk ke sana, harus meninggalkan Kartu Tanda Penduduk atau Surat Izin Mengemudi di pos security sebagai jaminan.
“Wewenangnya apa satpam bertanya dan menahan SIM sebagai jaminan ketika kita masuk di Badak? Domain itu milik Satlantas, bukan satpam perusahaan. Masa manajemen Badak tidak mengerti itu?” jelasnya.
Arogansi ini juga ditunjukkan oleh sikap oknum security yang semena-mena menanyakan keperluan masyarakat. “Saya sering dapat laporan itu, mereka kadang diperlakukan tidak adil kalau mau lewat di sana,” bebernya.
Bakhtiar juga mempertanyakan kebijakan menahan KTP bagi masyarakat yang ingin masuk ke Badak. “Kalau masyarakat bersangkutan meninggal di dalam, lalu kemudian identitas dirinya tidak ditemukan karena tidak ada yang tahu kalau sedang ditahan di pos satpam, terus bagaimana nanti mencari keluarga dan cara memakamkannya?” tanyanya. “Penahanan KTP ini juga tidak masuk logika. Apa masyarakat yang masuk ke sana jadi ancaman serius bagi aktivitas Badak sehingga KTP-nya harus ditinggalkan sebagai jaminan?” sambungnya.
Tidak heran, Bakhtiar sempat berseloroh kebijakan serupa juga bisa dilakukan Pemkot Bontang. Caranya, membuat portal serupa yang dijaga oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bontang. Mekanismenya pun sama; masyarakat yang tinggal di Badak harus meninggalkan KTP dan SIM saat hendak ke Bontang. Hal ini menjadi kebijakan serius untuk memperingatkan Badak jika perusahaan tersebut ada di Bontang.
“Kalau Badak pakai portal, kita juga pakai portal. Kalau ada masyarakat yang tinggal di Badak ingin ke Bontang, tahan juga KTP dan SIM-nya. Ini kan aneh, seperti kota dalam kota, seperti negara dalam negara,” terangnya.
Menurut Baktiar, Badak terlalu phobia terhadap aktivitas masyarakat di sekitar kompleks perumahan karyawan. Padahal, masyarakat bukanlah ancaman serius. Deskrit ancaman inilah yang menyebabkan masyarakat sering menerima diskriminasi.
Dari pelbagai hal itu, Bakhtiar menuding Badak tidak akomodatif kepada masyarakat. Padahal seharusnya, perusahaan sekelas Badak harus bisa berdampingan dengan masyarakat. “Ini bagaikan bumi dan langit kalau kita bandingkan antara masyarakat dengan Badak. Terlalu eksklusif,” urainya.
Bakhtiar menegaskan, Badak seharusnya belajar dengan PT Pupuk Kaltim (PKT), dimana akses diberikan bebas kepada masyarakat. “Coba lihat di Lhoktuan, kantor utama PKT saja bisa dilewati masyarakat,” tandasnya.#fs