Peristiwa 5 Juni 2015 masih membekas di seluruh warga negeri Malaysia. Gempa 6 SR (Skala Richter) berakibat tanah di Gunung Kinabalu bergetar. Fatal akibatnya, 13 ditemukan tewas dan 6 hilang. Mereka adalah para pelancong yang melakukan pendakian dan pemandu. Di antaranya ada remaja dari Singapura yang sedang berlibur.
Kabar duka itu mengundang banyak diskusi kalangan ilmuwan. Tidak hanya di Sabah dan Serawak Malaysia, tapi juga di Indonesia. Terutama para geolog yang selama ini selalu mengabarkan Bumi Borneo adalah kawasan paling aman dari gempa.
Data dari Pusat Survei Geologi AS menyatakan, gempa yang dirasakan di Gunung Kinabalu dan sekitarnya terjadi pada kedalaman 10 kilometer, dengan pusat gempa terletak di sekitar 54 kilometer sebelah timur dari Kota Kinabalu, ibu kota Sabah.
Empat bulan setelah gempa melanda, sejumlah wartawan dari Indonesia datang mengunjungi Gunung Kinabalu. Minggu kedua Oktober 2015 lalu, tak kurang dari 12 orang wartawan Indonesia melihat dari dekat situasi yang terjadi pasca gempa. Dari Jakarta ada wartawan-wartawan senior seperti Tarman Azzam (Mantan Ketua PWI Pusat), Asro Kamal Rokan (Mantan Pimred Harian Jurnal Nasional), Saiful Hadi (CEO dan Pemred Antara) dan Nachrowi (Dewan Pengawas Antara).
Kemudian dari Kalimantan Utara ada Dt Iskandar Zukarnaen (Antara) dan Anthon Joy (Radar Tarakan). Dari Kalimantan Timur Charles Siahaan (beritakaltara.com/ bongkar magazine), Wiwied Mahendra (Viva Borneo) dan Uways Alqadrie (Kaltim Post) dan dari Kalimantan Barat Andri Januardi (Pontianak Post) dan Teguh Imam Wibowo (Antara). Ditambah lagi Aulia Badar Wartawan Antara di Kuala Lumpur Malaysia yang sekaligus juga membantu panitia penyelenggara.
Dari Malaysia sendiri yang menjadi tuan rumah, Mohamad Nasir, Editor Isu Khas dan Features Bernama dan Jamain Wartawan Bernama yang juga warga lokal Kundasan-Dusun.
“Bapak dan ibu saya dari Kundasan. Kami warga asli di Kinabalu. Warga di sini menyebut nama daerah ini Nabalu. Bukan Kinabalu,” cerita Jamain di dalam bis Jawatan Penerangan Malaysia yang membawa rombongan wartawan, Minggu (10/10/2015).
Melihat postur tubuh Jamain yang berkulit putih kecoklatan dan raut garis wajah, mengingatkan kesamaan dengan warga-warga Dayak di perbatasan Kalimantan Utara maupun Kalimantan Timur. Mungkin leluhur mereka, kakek buyut mereka bersaudara. Hanya karena perbedaan politik batas negara, sehingga etnis-etnis asli di Pulau Kalimantan terpisah negara.
Jamain juga mengaku bukan etnis Dayak. Dia adalah suku Kundasan. Suku yang menjadi “penjaga” Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia. Di suku Kundasan, terdapat nilai-nilai luhur yang tidak boleh dilanggar. Kalau ada yang menentang adat, tak hanya mengundang reaksi marah warga lokal, tapi konon, para leluhur yang telah tiada bisa murka. Kalau para leluhur murka, itu pertanda bencana.
Bencana gempa bumi yang menimpa Gunung Kinabalu 5 Juni 2015 lalu diyakini sebagian warga karena ada ‘kemurkaan’ alam. Pendapat itu dipicu adanya fakta bahwa pada beberapa hari sebelumnya ada 10 turis asing yang berbuat tak senonoh saat melakukan pendakian sampai ke puncak.
Kesepuluh wisatawan asing itu berhasil tiba di puncak gunung berketinggian 4.095 meter dari permukaan laut (mdpl) pada 30 Mei 2015. Sudah menjadi kelaziman bagi para pendaki jika berhasil mencapai puncak maka diadakan ritual-ritual berbagai versi. Ada yang berdoa sujud dengan bersyukur kepada Tuhan karena diberi kesempatan menyaksikan pemandangan dari atas puncak ketinggian, ada juga yang melakukan pelukan dan menancapkan bendera menandakan dirinya sudah pernah tiba di sana.
Tapi sepuluh turis asing ini rupanya membuat ritual yang tak lazim. Sangking gembiranya, mereka sepakat melucuti seluruh pakaian sampai celana dalam. Di atas puncak gunung, kesepuluh turis pria dan wanita itu berbugil ria.
Aksi itu menjadi heboh setelah foto-foto mereka yang berbugil ria terposting di media sosial. Sampai kemudian mengundang kecaman warga dan pejabat setempat . Bagi sebagian warga di sana, aksi para turis yang tidak senonoh itu membuat alam murka. Wallahualam.
Eleanor Hawkins, 23 tahun, gadis Inggris, salah satu turis yang telanjang di Gunung Kinibalu akhirnya meminta maaf karena melanggar adat istiadat masyarakat setempat. Tapi permohonan minta maaf itu tidak menghapus pelanggaran hukum yang dikenakan terhadap mereka. Hawkins dan teman-temannya dihukum penjara tiga hari, ditambah denda 5.000 ringgit Malaysia (sekitar Rp 17 juta).
Cerita-cerita tentang mistis hutan dan alam sebenarnya tak hanya ada di Kinabalu, Sabah. Hampir semua masyarakat pedalaman di Pulau Borneo (sebutan lain Pulau Kalimantan) percaya alam sekitar hutan yang memberi kehidupan harus dijaga. Tidak ada yang perlu dikuatirkan pelancong jika datang dengan niat yang bersih dan tidak berbuat di luar etika.
Hujan lebat mengguyur bis rombongan wartawan Indonesia – Malaysia setelah lepas dari Pekan Nabalu menuju Sutera Sanctuary Lodges. Jalan yang kecil dan bersebelahan dengan bukit di sebelah kanan dan jurang sebelah kiri, cukup mengundang rasa waswas. Apalagi ketika mobil mendaki cukup terjal, tapi rupanya Sopir Bis yang dipanggil Pak Awang cukup mahir dan berhasil mengantar sampai tempat tujuan.
Sutera Sanctuary Lodges, Kinabalu Park, tempat mobil bis berhenti adalah kaki gunung Kinabalu. Di sini informasi mengenai gunung tertinggi di Kalimantan itu bisa diperoleh. Ada denah-denah trekking yang bisa dilalui para pendaki atau meminta brosur-brosur tentang gunung itu.
Seorang perempuan muda bernama Chintya melayani pertanyaan dari para wartawan Indonesia. Tangannya dengan sigap memberikan brosur-brosur. Ada peta pendakian, jalur trekking dan biaya untuk menginap di Sutera Sanctuary Lodges tersebut.
“Tapi sekarang tidak boleh mendaki sampai puncak. Jalurnya ditutup sementara,” ujar Chintya yang mengaku berasal dari suku Kundasan-Dusun.
Dari Chintya diperoleh berbagai informasi tentang pelancong yang datang. Misalnya tentang jumlah pelancong atau turis yang datang setelah peristiwa gempa. Perempuan yang sehari-hari bekerja di Kinabalu Park itu mengakui ada penurunan turis yang datang.
“Masih ramai. Ya beratus lah yang datang setiap bulan,” ujarnya, ramah.
Ia menceritakan penutupan dilakukan oleh pemerintah setempat karena ada kerusakan di jalur trekking. Saat terjadi gempa, jalur trekking yang sudah lama digunakan para pendaki ada yang terputus sehingga harus dibuat jalur baru.
“Tahun depan rencananya sudah dibuka lagi,” kata Chintya.
Sebenarnya kerusakan hanya terjadi di jalur menuju puncak. Saat ini pendaki masih dibolehkan menguji adrenalin sampai di pos kawasan Laban Rata diketinggian 3.272 meter dari permukaan laut (mdpl). Ini lokasi yang dianjurkan untuk mempersiapkan fisik para pendaki jika ingin meneruskan ke puncak Kinabalu.
Diceritakan oleh Chintya, kalau kondisi fisik kuat pendakian ke puncak dan turun lagi bisa ditempuh 8 jam. Pernah ada pelancong yang melakukannya. “Fisik kuat sekali. Baru sekali setahu saya yang pernah begitu,” ujarnya.
Pendaki pemula cocok mencoba Kinabalu. Jalur trekkingnya tidak berbahaya dan bisa dilalui siapa saja asal fisiknya dalam kondisi fit. Mereka bisa mendaki sambil bersenda gurau dan suka cita, menikmati pemandangan di jalur trekking dan selfie-selfie.
“Tetapi di atas itu sudah tidak terkoneksi dengan internet. Hubungan internet hanya di sini saja (kaki gunung, red),” ujar Chintya dengan logat melayunya.
Tapi ada juga jalur lain yang disukai para climber. Jalur yang lebih menantang karena diperlukan peralatan memanjat seperti tali dan carabiner. Saat rombongan wartawan Indonesia-Malaysia berada di kawasan Kinabalu Park sempat bertemu dengan 4 turis berbahasa Prancis. Keempatnya – dua perempuan dan 2 lelaki, menurut seorang guide / pemandu, batal mendaki ke Laban Rata karena salah seorang dari mereka kakinya terkilir.
Rombongan juga bertemu dengan para pendaki dari berbagai daerah dengan berbagai gayanya yang khas para pendaki. Di situ terbukti, walaupun ada gempa, tak semua menjadi takut datang, malah ada juga yang justru tertantang.
“Bang saya titip carikan jalur trekking ya. Ada rencana mau mendaki Gunung Kinabalu,” tulis Kahar Al-Bahri, seorang akitivis lingkungan di Samarinda, Kalimantan Timur, ketika mengomentari akun facebook Charles Siahaan yang memposting fotonya saat di kaki Gunung Kinabalu.
Chintya menambahkan, warga lokal sekitar kaki gunung tidak ada lagi yang waswas gempa terjadi lagi. Hidup mereka sudah normal seperti sediakala. Tidak ada trauma, apalagi meminta pindah dari kawasan dingin dan asri, tempat hidup turun temurun para leluhur mereka.
“Datang dan lihatlah ke sini,” tutup Chintya dengan senyuman akrabnya.
Ya, untunglah bertemu Chintya yang bisa memberikan informasi dari berbagai sisi. Apalagi perjalanan para wartawan terbatas hanya sampai di kaki gunung dan selanjutnya kembali ke Kota Kinabalu. Untuk saat ini, cukuplah cerita sampai di sini. #charlessiahaan
Comments are closed.