Terus terang saya termasuk yang ragu dengan investasi Rusia di rel Kereta Api. Menurut saya, sudah gak feasible.
Dulu, idenya datang tahun 2012 saat MP3EI masih dijual SBY ke Presiden Putin. Ketika batubara kencang-kencangnya dieksploitasi. Bermodal cangkul sudah bisa bisnis batu bara.
Istilah Presiden Jokowi; “sebuah pesta bakal ada akhirnya”. Nah, pesta batubara itu sudah usai. Sama dengan ‘pesta’ kayu sekitar 20 tahun silam.
Minset pemerintah tahun 2012 itu, batu bara di Kaltim gak bakal habis biar digali 100 tahun. Luar biasa besar depositnya. Apalagi kalau cuma sekitar 200 juta MT (Metrik Ton) per tahun. Jumlah kecil itu, walaupun dengan angka segitu Kaltim sudah jadi juara ekspor batu bara di Asia.
Hambatan utama tak bisa digebernya produksi batu bara adalah masalah akses jalan. Karena perusahaan diwajibkan membangun sendiri jalan mengangkut hasil produksi. Tak boleh pakai jalan negara atau jalan umum.
Di situlah muncul ide membangun rel kereta api. Terbayang-bayang jika ada rel kereta api dari Balikpapan – PPU terus ke Kutai Barat dan langsung ke Kalimantan Tengah, berapa besar lahan-lahan batubara di sekitar rel yang terangsang.
Para pengusaha batu bara tak perlu sulit lagi membangun jalan. Tinggal buat stock file di dekat rel kereta api. Bayangannya, kalau ada rel kereta api produksi batu bara kaltim bakal tergenjot 200 sampai 300 persen. Atau dengan produksi antara 500 – 600 juta MT per tahun.
Situasinya memang memungkinkan. Karena waktu itu Cina menampung berapapun produksi batubara. Juga India dan beberapa negara Eropa.
Coba kita hitung asumsi pendapatannya ya. Kalau Kereta Api Rusia berhasil mengangkut 100 juta MT per tahun, dengan ongkos angkut antara Rp100 ribu – 200 ribu per MT, maka omzetnya sudah Rp10 T – 20 Triliun per tahun. Uang besar kan???
Itulah sebabnya pada Selasa (7/2/2012) di Jakarta, Pemerintah Kalimantan Timur dan JSC Russian Railways buru-buru menandatangani nota kesepahaman (MoU) pembangunan jaringan rel kereta api sepanjang 240 kilometer. Tanpa “beauty contest” Rusia menjadi pemain tunggal transportasi Kereta Api jalur PPU-Kubar-Kalteng.
Menurut berita koran waktu itu, Rusia mau tanam modal hampir Rp24 triliun (sekarang kabarnya mau inves Rp70 triliun). Pembangunan dimulai pada 2014 dan rel kereta api bisa mulai digunakan pada 2017.
Untuk melancarkan urusan didirikan PT Kereta Api Borneo, anak perusahaan Russian Railways.
Tapi badai itu datang. Krisis global. Pabrik-pabrik yang menggunakan batu bara bertumbangan. Cina dan India juga tak lagi membeli besar-besaran. Dampaknya terjadi di daerah penghasil seperti Kaltim. Pengusaha batubara pada tiarap. Tinggal perusahaan besar yang mampu beroperasi. Itupun dalam kondisi memprihatinkan.
Semua perusahaan batu bara di Kaltim melakukan efisiensi, pengurangan tenaga kerja dan memangkas biaya-biaya. Karena harga drop, pengusahanya pusing. Mau tutup tapi ada kontrak jual-beli dan kerugiannya juga sangat besar kalau sampai tutup.
Perusahaan yang sahamnya ada di bursa efek juga mengalami situasi yang sama. Pendek cerita. Mati langkah.
Karena situasi itu, mungkin, membuat Rusia tidak jadi memulai pembangunan rel kereta api pada tahun 2014 sesuai progresnya. Bahkan terus tertunda sampai akhirnya ada groundbreaking oleh Presiden Joko Widodo pada 19 November 2015.
Saya ikut terkejut karena tiba-tiba ide Rel Kereta Api muncul lagi. Malah ada embel-embel. Bukan hanya mengangkut batu bara, tapi juga hasil kebun sawit dan hutan. Termasuk untuk angkut penumpang.
Oke lah, kerinduan rakyat Kaltim memiliki moda angkutan kereta api segera dimulai. Anak-anak yang lahir di Bumi Etam akan melihat ‘ besi merayap’. Tak lagi hanya mendengar dari lagu; “naik kereta api.. tut..tut.. tut.. siapa mau turut…”
Mungkinkah Rusia dengan cepat merealisasikannya?
Kalau hitung-hitungan bisnis yang dipakainya memakai asumsi optimisitis tahun 2012, jelas iya. Apalagi waktu itu mungkin sudah ada jaminan dari Presiden sebelumnya bahwa kebijakan Indonesia dipertahankan kondusif. Setidaknya tidak berubah-ubah.
Tapi sekarang Presiden sudah berganti. Beberapa kali dalam pertemuan dalam dan luar negeri, Presiden Jokowi mengkampanyekan tidak lagi mengekspor bahan mentah. Harus diolah dulu. Kebijakan paling akhir untuk pertambangan adalah smelter.
Situasi ini yang membuat keraguan saya. Karena harga batu bara belum pulih dan mungkin tidak pernah pulih lagi, ditambah lagi adanya kebijakan smelter. Era booming batu bara boleh kita sebut goodbye.
Sedangkan berharap laba dari mengangkut kelapa sawit, tidak begitu menjanjikan. Mengingat buah sawit tak boleh berlama-lama dalam perjalanan untuk diolah menjadi CPO. Petani sawit pasti memilih angkutan mobil karena jaraknya dari kebun ke pabrik CPO juga pendek.
Lalu, bagaimana dengan angkutan penumpang? Ya, itu lagi. Sepuluh atau 15 tahun lagi juga belum yakin bisnis penumpang kereta api di Kalimantan feasible. #
@charlessiahaan, Samarinda 20 November 2015.
Comments are closed.