Sianne Avantie. Itulah nama kecil seorang ikon kebaya Indonesia yang kemudian lebih dikenal dengan nama Anne Avantie. Buah karya tangan desainer ini sangat terilhami oleh kekuatan keindahan yang terlahir dari talenta luar biasa.
Meretas Jalan Hidup
Karier perancangan busana seorang “Anne Avantie masa kini” terajut oleh perjalanan jatuh bangun yang cukup panjang. Berawal dari ketertarikannya menyiapkan kostum tari dan pertunjukan semasa SMA, ia mulai memantapkan diri untuk menekuni modiste. Namun, di usia 19 tahun ketika ia menikah muda, guncangan hidup sempat menundukkannya. Dalam kondisi ekonomi yang serba sulit dan di tengah biduk rumah tangga yang rapuh, Anne harus berjuang melawan kekoyakan perkawinannya.
Ia mempunyai seorang puteri dari buah perkawinannya. Namun, perkawinan yang hambar oleh siraman cinta itu pun harus kandas. Anne mulai berjuang membesarkan puterinya seorang diri. Cobaan pun datang kembali. Ayah Anne yang selama ini merupakan figur penopang kehidupan ibu dan kedua adiknya, meninggal dunia.
Setiap hari Anne berjualan jajanan dan manisan mangga yang ia titipkan di kantin-kantin sekolah. Demikanlah ritme hidupnya sehari-hari hanya digerakkan oleh harapan untuk mengais nasi. Sungguh ironis. Di masa kecil hingga remaja ketika masih tinggal di Solo, Anne sangat menikmati kehidupan yang berkecukupan. Dan di usianya yang masih 20-an ketika itu, ia justru berjuang dengan alasan yang sungguh miris: untuk makan. Tangan terampil dan keliaran kreativitas dalam mengolah kain pun tak teringat lagi. Bayangan keasikan membuat kostum seolah menguap dan terbang.
Namun, kerja kerasnya membuat keripik singkong pedas dan kacang goreng mulai meretas jalan hidupnya. Melewati cobaan yang bertubi, pribadi Anne Avantie semakin kokoh. Kemudian ia menemukan sosok pria yang diyakini akan menjadi teman dalam mengarungi perjalanan panjangnya. Dalam suasana yang penuh kesahajaan nan khidmat, Anne dan Henry saling menerimakan sakramen pernikahan di Gereja Katedral Semarang.
Berbekal kekuatan cinta, mereka membangun bahtera rumah tangga. Aura bahagia dan harmoni terasa. Henry yang berasal dari keluarga bisnis mulai memandu bakat kreatif Anne menjadi sebuah ladang usaha. Mereka mencoba menguak peluang untuk memproduksi pernak-pernik cinderamata. Bentuknya beraneka macam, berupa dompet, buku agenda, gantungan kunci, serta kipas. Produk kreatif Anne itu rencananya akan dijual ke perusahaan-perusahaan ekspor kerajinan. Namun, usaha ini dirasa kurang prospektif. Selain karena animo pasar yang kurang bagus, jumlah pesaing yang bermain di usaha ini juga sudah banyak.
Metamorfosa Seorang Desainer
Kemudian Anne mulai menghidupkan kembali aktivitasnya membuat busana. Bermodal dua mesin jahit bekas tanpa dinamo dan memanfaatkan garasi rumahnya, Anne membuka usaha modiste kecil. Ia menamainya Griya Busana Permata Sari. Waktu itu Griya Busana Permata Sari memilih untuk memproduksi busana panggung ukuran all size. Berkah pun menghampiri. Sebuah grup tari kondang, Andromedys Dance, meminta Anne untuk membuat rancangan busana panggung mereka.
Atraksi panggung luar biasa Andromedys Dance sontak mengibarkan nama Anne Avantie sebagai sosok yang sangat berperan atas busana yang mereka kenakan. Pelanggan lain berbondong-bondong mulai berdatangan. Kepercayaan akan keindahan busana yang Anne hasilkan mulai terbangun.
Anne mulai memberanikan diri mengikuti show kecil-kecilan. Spanduk Griya Busana Permata Sari terpampang jelas di depan gedung rollskate yang menjadi arena show di Semarang waktu itu. Show kecil pertama itu pun mengantar Anne menuju ke show-show besar selanjutnya. Anne semakin optimis mengikuti ajang show Persatuan Perancang Mode Jawa Tengah. Seorang Anne Avantie, pemilik modiste kecil itu mulai disebut sebagai “Desainer”. Liputan media massa dalam ajang show itu membuat nama Anne Avantie semakin dikenal dan ia mulai kebanjiran order.
Opa Anne menghadiahinya sebuah gerai di Citraland Mall Semarang. Suami dan ibunda Anne kemudian menata gerai itu menjadi sebuah butik yang sangat artistik. Butik inilah yang menjadi tempat Anne belajar menghadapi klien dan bersikap lebih profesional. Ia berusaha membangun brand image secara pasti dan baik. Berbagai tuntutan, keluhan, serta aduan klien atas produk harus didengarkan dan disikapi dengan bijak.
Anne menyadari bahwa pelanggan yang datang ke butiknya memang tahu seluk beluk pembuatan busana dan memiliki cita rasa seni tinggi. Dari proses itulah ia banyak belajar menjadi seorang desainer yang mumpuni. Mengenai butiknya itu, Anne bertutur demikian: ”Ternyata tidak mudah menggulirkan sebuah butik. Sungguh pun butik saya telihat mentereng dengan gaun-gaun indah di dalamnya, tantangan yang saya hadapi luar biasa beratnya!”
Di tengah perjuangan membangun kariernya cobaan tetap datang memantapkan langkah kaki Anne ke jalan yang semakin pasti. Ia sempat masuk dalam perangkapnya sendiri dan hampir jatuh ke lubang terdalam. Kebangkrutan ekonomi menghantui Anne dan keluarganya. Belum rampung penderitaan karena tumbangnya kekuatan ekonomi yang Anne bangun dari bawah, ibunda yang selama ini merupakan sosok penting dalam hidupnya jatuh sakit.
Lagi-lagi Anne terseok. Dengan sisa tabungan yang ada, sembari berusaha mengumpulkan rezeki dari jualan dawet durian dan nasi liwet, Anne membawa ibunya berobat ke Singapura. Berkat usaha yang luar biasa dan iman yang semakin teruji, akhirnya ibunda bisa sembuh kembali. Hantaman ekonomi dan penyakit sang ibu datang silih berganti membentuk pribadi dan kedalaman iman seorang Anne Avantie.
Comments are closed.