Catatan Bang Uchok
Jumat (15/12/2017) saya datang ke acara Musda HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Kaltim. Dari namanya, kesan pertama tentu adalah saya bakal bertemu dengan para petani. Mereka yang berjibaku di ladang, tambak, kebun. Orang-orang yang mengolah bumi menjadi sumber makanan dan penghasilan.
Tapi, ternyata tidak begitu kawan. Acaranya saja di Hotel Selicia. Ini hotel bintang empat yang terletak di Jalan Pahlawan. Berhadap-hadapan dengan Hotel Mesra Internasional. Hotel ini juga satu paket dengan Plaza Mulia. Tak terlihat tampang-tampang petani yang biasanya kulitnya legam tersengat matahari.
Di ruang itu, boleh dibilang berkumpulnya tokoh-tokoh politik, pengusaha dan aktivis. Apalagi ada Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak yang membuka acara Musda.
Kawan saya, Amir P Ali juga datang. Dia memakai baju bertuliskan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Kaltim. Itu isyarat kalau mantan Ketua KNPI Kaltim itu datang mewakili organisasi yang dipimpinnya.
Saya mencoba menyimak apa yang sedang dibicarakan sejumlah tokoh diacara itu. Seperti dalam temanya membahas petani, maka yang muncul adalah keprihatinan terhadap nasib petani di zaman now. Para tokoh itu, termasuk Gubernur Kaltim berceloteh tentang perlunya meningkatkan penghasilan para petani. Agar mereka sejahtera dan bla bla bla.
Ya, saya jadi tertegun sendiri. Mencoba mencerna apa yang diucapkan para pengurus HKTI dan gubernur dengan fakta-fakta lapangan. Nasib para petani hari ini.
Ah, tidak. Di pikiran saya mulai muncul kesimpulan-kesimpulan. Mereka di situ sekedar bicara, karena ada ruang dan panggung untuk bicara tentang petani. Mereka sepertinya menggunakan organisasi ini sebagai panggung saja. Kasarnya, mereka menjual nasib petani di panggung itu untuk kepentingan mereka sendiri.
Apa kepentingan mereka?
Paling tidak, ya branding. Seolah-olah mereka adalah pembela kaum petani yang selama ini termajinalkan. Di panggung itu mereka membranding diri sebagai “pahlawan” para petani.
Tidak sampai habis acara, perut saya mulai merasa mual setelah mencerna apa yang terjadi; antara kondisi di ruang ber-AC itu dengan nasib para petani.
Sehari sebelumnya, saya bersama Profesor Abd Rahim, Rektor Universitas Widyagama baru saja menyusun tuntutan rakyat Kaltim untuk disampaikan ke pemerintah dan DPR RI. Di situ, dalam sebuah paper yang bakal diserahkan ke pemerintah pusat, terlihat bagaimana sektor pertanian di Kaltim diabaikan dari masa ke masa.
Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Kaltim tidak berniat tulus mengembangkan pertanian. Lahan-lahan pertanian yang semakin mengecil karena disodok oleh izin-izin lahan tambang. Anggaran yang apa adanya, sekedar agar sektor yang dikelola para kepala dinas itu terlihat bekerja.
“Akibatnya memang bisa terlihat dalam tabel ini. Kontribusi sektor pertanian Kaltim itu sepanjang tahun cuma diangka 5 dan 6. Bandingkan dengan tambang batubara yang angkanya 40, 50,” kata Prof Abd Rahim. Waktu itu saya tidak sempat bertanya berapa nilai angka-angka itu. Dipikiran saya hanya terlintas, oh pertanian di Kaltim sudah terlalu lama tidak diurus.
Kalau sekarang kita melihat banyak lahan kosong di Kaltim yang tidak dikelola, tidak menghasilkan apa-apa kecuali rumput ilalang, ya itulah faktanya. Pemerintah tak tertarik mendorong rakyatnya untuk meningkatkan produksi tanaman pangan, buah-buahan atau berternak. Pemerintah lebih suka mengurus tanah yang ada deposit batubaranya.
Jadi, pertemuan di Hotel Selicia itu menjadi pembenar hipotesa saya. Pertanian tidak diurus sungguh-sungguh oleh pemerintah. Tapi mereka menjual nasib para petani yang belum sejahtera sebagai bagian branding diri para pejabat negara.
Usai itu saya mampir ke sebuah warung STMJ. Sambil meyeruput saya berharap HKTI nanti diisi oleh para pengurus yang benar-benar petani. Teman saya Amir P Ali tertawa saat saya ceritakan kalau di ruang itu adalah para petani berdasi. Kata dia; “Pertanian? Kesah maha tue” (Pertanian cuma basa-basi). #Samarinda, 16 Desember 2017.
Comments are closed.