BERITAKALTIM.CO- Hampir 85 persen lahan produktif pada 20 kecamatan se Kabupaten Kutai Kartanegara dikuasai oleh perusahaan dengan bermodalkan surat keterangan Hak Guna Usaha (HGU). Hal itu membuat resah sejumlah camat di daerah tersebut.
Pasalnya, mereka tak bisa menggarap lahan untuk masyarakatnya, atau hendak mendirikan fasilitas umum, seperti pasar, sekolah, puskesmas, rumah rumah ibadah dan kebutuhan pembangunan lain, karena bentur dengan perusahaan yang berkuasa di sana.
Hal ini terungkap saat berlangsung rapat pansus DPRD Kukar dengan tim rencana tata ruang wailayah atau RTRW dari Badan Pertanahan Nasional Kukar beserta 20 camat dan perwakilan lainnya yang terkait pembangunan se Kabupaten Kukar.
Rapat tersebut sejatinya membahas tentang draft usulan peta kelayakan dan strategi pembangunan sarana dan fasilitas umum tim RTRW Kukar di 20 kecamatan. Namun berubah menjadi arena pelampiasan “amarah” dan curhat keluh kesah kepada para wakil rakyat DPRD, karena mereka mengaku kesulitan melakukan pengembangan pembangunan wilayah dan infrastruktur di kecamatan, lantaran seluruh lahan yang akan diposting jadi media pembangunan dilarang oleh perusahaan karena alasan memiliki HGU.
Padahal, menurut para camat, banyak diantara perusahaan itu sebagian besar HGU-nya sudah tidak produktif lagi bahkan membengkalaikan usahanya di lahan tersebut, tetapi juga bersikukuh untuk melepaskan HGU itu kepada masyarakat atau pemerintah kecamatan.
Ahirnya para wakil rakyat mengaku dalam pertemuan itu banyak mendata dan mendapatkan problem vital di tengah masyaraat yang sejauh ini memang dibicarakan hanya oleh pihak-pihak pemerintahn kecamatan. Bahkan terlihat para wakil rakyat ini merasa geram dan mengagendakan waktu lain untuk mengundang sejumlah perusahaan yang dianggap bikin “rusuh” di kecamatan dan dinilai menghambat pembangunan di tingkat bawah.
Dalam Pansus ini memang sedang membahas mengenai draft catatan strategi pembangunan fisik dan infrastruktur di semua kecamatan untuk dimasukkan ke DPRD untuk disahkan sebagai draft resmi untuk selanjutnya diajukan sebagai rencana dan realisasi pembangunan dalam APBD Kukar di tahun berikutnya.
Makanya dibahas per kecamatan tentang proyek-proyek fisik dan insfrastruktur apa saja yang layak pada masing masing kecamatan.
Dalam pembahasan itu terungkap memang strategi jitu penempatan proyek-proyek sesuai kajian tim tata ruang yang dinilai layak dan sepadan dengan psikologis wilayah, seperti membangun pasar, pertanian, perkebunan, pusat industry, perdagangan, ekonomi bisnis hingga ke pertahanan keamanan.
Tetapi rapat kemudian menjadi riuh dan alot bersahut-sahutan silang pendapat, lantaran sejumlah strategi pembangunan yang dimasukkan dalam draft agenda proyek itu tidak sesuai dan tidak layak penempatan posisinya.
Bahkan yang muncul justru deretan data strategi kelayakan yang dituangkan dalam klausul draft itu data survey dan informasinya dipertanyakan dari mana, sebab tidak sesuai dengan kondisi kelayakan rencana proyek proyek yang dimaksud dengan lapangan.
Sehingga Ketua Pansus RTRW, Ahmad Yani, pun menyarankan kepada tim agar meneliti lebih dalam tentang kesesuaian kebutuhan warga dalam pembangunan dan berdiskusi dengan para camat dan kepala kepala desa sebelum draft itu disahkan DPRD dan pemerintah.
Sebab jika salah dari awal, maka 20 tahun masyarakat akan menanggung kesalahan itu, akhirnya proyek jadi mubazir dan tidak memilki azas manfaat bagi masyarakat.
“Saya sarankan agar melakukan kajian kembali soal masalah-masalah lahan yang ada di setiap kecamatan agar disesuaikan dengan tuntuan dan aspirasi masyarakat baru kita sahkan usulan pembangunan ini,” terang Ahmad Yani yang memimpin langsung rapat tersebut.
Dari para camat terkuak bahwa ada sejumlah proyek swadaya rakyat yang sebenarnya berhasil di lapangan namun jusru tidak dimasukkan sebagai usulan untuk dibangun fasilitasnya. Misalnya di Kecamatan Muara Badak, menurut salah satu camatnya, di daerah itu sudah ada aktifitas perikanan hasil swadaya masyarakat tetapi tidak ada dalam usulan untuk dibangunkan fasilitas. Sehingga kian kuat tuduhan jika data yang dibuat klausulnya oleh tim RTRW adalah hasil karangan bukan fakta.
Namun tim tata ruang BPN, Yudo Arniwanto, mengatakan bahwa data yang mereka masukkan ini adalah data hasil observasi tim pembangunan termasuk tim RTRW. Memang sebagian mengambil dari informasi para tokoh, kepala- kepala desa bahkan data-data para camat di masing-masing daerah.
Terlepas ada usulan yang belum tercover maka rapat pansus ini amerupakan media untuk memasukkan usulan yang belum tercover tersebut.
“Jadi silakan saja pak diberi masukan kepada kami biar draft ini singkrong,”kata Yudo Arniwanto.
Soal data daftar usulan tersebut tidak terlalu masalah karena sudah ada solusi yang diberikan. Namun yang paling menyita energi diperdebatkan para camat dan anggota rapat lainnya adalah soal lahan-lahan yang diduduki perusahaan. Seluruhnya memiliki HGU tetapi banyak yang tidak berjalan usahanya. Hal ini mengganggu pembangunan sebab tidak bisa ditempati untuk membangun.
Camat Sangasanga, Gunawan, menlampiaskan emosinya dengan membahas keras soal keberadaan Pertamina di daerah itu. Di sana, menurutnya, bos Pertamina lebih camat dari pada camat. Dalam artian masyarakat lebih menghormati pimpinan operasional Pertamina di wilayah itu dari pada camat. Bahkan kebijakan camat malah diintervensi oleh bos Pertamina itu.
“Kalau camat justru kita malah mengemis-ngemis ke mereka jika ingin membangun sesuatu dan belum tentu diizinkan,” kata Gunawan dengan suara keras.
Karena adanya HGU perusahaan, warga juga tidak bisa berkontribusi membayar pajak karena rata-rata surat yang dipegang warga hanya berasal dai RT. Padahal untuk membayar pajak butuh sertifikat tanah.
Kekecewaan lain, menurut Gunawan, suatu waktu kecamatan mendapatkan usulan penerimaan dana dari SKPD untuk membuat pasar. Tapi akhirnya batal dan pasar yang diharapkan warga tidak jadi karena persyaratan bantuan dana pasar itu harus ada sertifikat.
“Jadi inilah yang membuat lama-lama kecamatan kita ini tenggelam dan terlupakan karena tertinggal jauh,”ujarnya.
Senasib tapi tak sama, juga di sampaikan camat Muara Jawa, Ahmad. Menurut dia banyak HGU perusahaan di wilayahnya yang tidak berfungsi, tetapi mereka dilarang membangun akses jalan karena melintasi perusahaan. Dia juga meminta soal jalan ini agar bisa diakses menuju jalan tol sebab sejauh ini jalan tol dekat dengan pemukiman tetapi tidak ada akses jalannya sehingga ini harus dimasukkan dalam draft pembangunan nanti.
“Nah soal keberadaan perusahaan yang mengantongi HGU ini juga yang kami harap bisa ada jalan keluarnya,” kata Ahmad.
Dia berharap agar HGU yang tidak berjalan itu harus diputus dan kembalikan lahannya kepada masyarakat untuk dimanfaatkan. Sebab diwilayah Muara Jawa potensi perkebunan dan pertanian cukup menjanjikan. Persoalannya tidak ada lahan untuk dibikin usaha masyakarakat semisal kebun dan pertanian karena HGU perusahaan. #
Wartawan: M. Sakir
Comments are closed.