JAKARTA,BERITAKALTIM.com- Penjelasan penting terkait biaya perjalanan dinas daerah yang tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 35/2014 didapatkan rombongan DPRD Kaltim saat menyambangi Kementerian Keuangan Rabu (4/2). Hari ini konsultasi kembali dilakukan di Kementerian Dalam Negeri.
Meski menjadi salah satu peraturan peninggalan mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masuk dalam 22 peraturan yang disahkan di pengujung masa jabatannya, PMK No. 35/2014, menuai protes di banyak daerah. Terutama yang punya kondisi geografis kompleks seperti Kaltim.
Kaltim tak main-main mempertanyakan hal ini, selain wakil rakyat seperti Wakil Ketua Henri Pailan Tandi Payung dan Dody Rondonuwu berikut Rusman Yaqub, Ichruni Lufti Sarasakti, Andi Burhanudin Solong, Muharram, Rusianto dan Siti Qomariah, rombongan juga menyertakan perwakilan Pemprov kaltim seperti Asisten III Meiliana, Kabiro Keuangan Fadliansyah Ishak, Kabiro Umum Sadudin, Kabiro Pengawasan Inspektorat Suroto, Kabiro SosialSafrian hasani dan Kabiro Perlengkapan Fathul Halim.
Hal yang menuai protes mislanya angka Rp 530 ribu/hari yang menjadi biaya perjalanan dinas dengan item; uang makan-transport-hotel. Angka dinilai sangat minim mengingat proses perjalanan kunjungan kerja keluar daerah bagi pejabat Kaltim terutama yang bermukim di Samarinda, harus menempuh perjalanan panjang.
Mulai Samarinda-Balikpapan (menuju bandara) hingga dari bandara tujuan ke hotel tempat menginap. Belum lagi perjalanan dari hotel ke tempat pertemuan.
“Kami berharap ada celah atau proses yang membuat aturan tersebut bisa fleksibel dan memperhatikan kebutuhan dan letak geografis di daerah seperti Kaltim,” ungkap ketua rombongan Henri Pailan Tandi Payung.
Diterima Walidi, Kepala Seksi Riset dan Pengembangan di Ruang Rapat Sutikno Gedung D Kementerian Keuangan Republik Indonesia, rombongan mendapat penjelasan anggaran perjalanan dinas tersebut memang didesain menjadi acuan nasional pada APBN, yang akhirnya menjadi acuan daerah di APBD.
Menurut Walidi, standar keuangan seperti pakai baju, jangan kekecilan jangan kebesaran, tetapi jangan sampai tidak pakai baju. Standarnya adalah pembentukan norma. Sayangnya, rincian dari apa saja item dari jumlah Rp530 ribu itu, tak bisa ia utarakan.
“Sebenarnya barangnya yang distandarkan, bukan uang yang diberikan. Misalnya harga satu porsi makanan secara dan transport secara umum. Termasuk pertimbangan kebijakan di masa depan misalnya kenaikan BBM. Dapur penghitungannya tentu tak bisa dibuka karena bersifat eskalasi,” urainya.
Perubahan juga bakal membuat perubahan masif pada pengeluaran anggaran belanja negara. Kenaikan 5 ribu rupiah saja, harus memperhitungan jumlah SDM setiap satuan kerja dikalikan 12 yang jumlahnya ratusan ribu. Bisa dibayangkan besarnya beban biaya yang diakibatkan.
“Harus dipahami juga di Kementerian Keuangan bertugas untuk rincian biaya perjalanan dinas, dan masuk di satuan biaya atau tarif. Nah untuk aturan kebijakan mengapa porsinya tak berimbang di daerah, ‘saklar’nya ada di Kementerian Dalam Negeri,” tambahnya.
Andi Burhanuddin Solong mengutarakan, dari jumlah tersebut ia khawatir akan terjadi terjadi pelanggaran etika jabatan. “Mungkin akan masuk anggarannya untuk hotel tapi untuk uang saku dan makan? Apa iya pejabat eselon dan wakil rakyat kita makan di warung pinggir jalan atau warteg? Inilah yang harus juga menjadi perhatian pemerintah,” ucapnya.
Dari pertemuan itu setidaknya didapatkan angin segar bahwa kebijakan perjalanan dalam daerah, tidak diatur oleh Kementerian Keuangan karena memang bergantung pada kebijakan daerah masing-masing. “Asal komposisi usulannya kembali harus diteruskan ke Kemendagri berikut alasan kuat termasuk aturan yang memayunginya,” lanjut Walidi.
Terkait perjalanan dinas dalam daerah memang menjadi sorotan wakil rakyat di Karang Paci. Letak geografis justru membuat biayanya lebih tinggi dari perjalanan dinas keluar daerah.
“Setidaknya, kita bisa paham jika aturan perjalanan di dalam daerah itu bisa ditentukan oleh daerah sendiri. Untuk kepastiannya memang akan ditanyakan pada Kemendagri lagi,” kata Siti Qomariah. (adv/dhi/oke)
Perjalanan Dinas Bukan Penghasilan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 53/2014 diakui terdesain untuk konsep APBN yang kemudian menjadi pedoman didaerah.
Sayangnya meski dijelaskan Kementerian Kehutanan sebagai konsep yang sudah memikirkan dampak ekonomi lanjutan seperti kenaikan BBM, tetap saja peraturan itu dianggap memberatkan pejabat dan wakil rakyat di daerah.
Menurut mereka, celakanya, anggaran perjalanan dinas ini bagi sebagian pejabat dan wakil rakyat, dikesankan sebagai penghasilan. ”Itu yang memang banyak ditemukan di daerah. Bahkan banyak pejabat dan wakil rakyat yang tersangkut kasus perjalanan dinas karena mengaitkan perjalanan dinas sebagai penghasilan dan memperkaya diri,” papar Walidi, Kepala Seksi Riset dan Pengembangan Kementerian Keuangan.
Ia juga menegaskan dari Rp530 ribu itu (uang saku, transport, makan), uang saku adalah biaya yang tidak bisa didefinisikan. Sementara uang makan termasuk hitungan sarapan di hotel. Jadi yang dibiayai adalah dua kali waktu makan lainnya. Sedangkan transport, mengikuti kedekatan biaya lokal.
Dari sini pertanyaan lanjutan kembali muncul. Bagaimana kondisinya jika tunjangan di daerah diusulkan naik juga sebagaimana di DKI yang berwacana menaikkan gaji PNS?
“Soal kenaikan tunjangan sebenarnya bukan ranah kami. Tetapi Kemendagri. Tetapi biasanya itu mengikuti tunjangan Presiden. Sebelumnya jika tunjangan presiden sebelumnya (SBY) naik, maka otomatis tunjangan pegawai bisa naik. Untuk kepemimpinan Jokowi sekarang kami belum tahu. Memang ada selentingan kabar bakal dinaikkan juga,” tambahnya.
Kaltim ternyata tak sendiri, beberapa daerah juga pernah menanyakan hal yang sama di Kementerian Keuangan. Seperti Kudus dan Mojokerto.
“Peraturan itu sama sekali tak menyerap aspirasi daerah dengan kondisinya. Meski sudah berdasarkan survei kementerian di daerah. Standar survey itulah yang menjadi pertanyaan karena kesannya disamakan di seluruh daerah,” tutur Rusman Yaqub.
Menurutnya, pusat justru tidak menggubris kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah. Menurut pandangan DPRD harusnya pemerintah daerah diberi ruang dengan mempertimbangkan peraturan gubernur. Salah satunya terkait anggaran perjalanan dinas ini. Daerah selalu terbentur dengan aturan yang sudah terlebih dahulu dibentuk tanpa mempertimbangkan kondisi daerah
“Itulah yang membuat daerah jadi segan melawan pusat karena terbentur aturan yang tidak fleksibel dengan kewenangan daerah,” tambah Rusman.
Dari situ, menurutnya banyak kebutuhan daerah yang tidak terakomodir dalam standarisasi anggaran itu. Apalagi pejabat pengawas di daerah juga menggunakan aturan itu sebagai tameng. Artinya daerah tidak punya kewenangan.
“Jika terkait kebijakan, seperti yang saya paparkan sebelumnya, ‘saklar’nya ada di Kemendagri. Mengapa sinar lampu didaerah tidak merata, itu terkait kebijakan disana dan memang itu bukan ranah Kementerian keuangan,” ujar walidi.
Ditambahkan Walidi, standar di kementrian keuangan, ada 2 aturan. Yakni lampiran 1 : Perencanaan dan pelaksanaan , dan lampiran 2 digunakan saat perencanaan, tapi bisa dilampaui saat pelaksanaan. Contohnya terkait ad cost.
Lampiran 1 soal pendapatan dan fasilitas termasuk uang harian dan penginapan. Lampiran 2 bisa dilampaui misalnya tiket pesawat. Itu diperbolehkan karena perbedaan kebijakan biaya penerbangan di daerah.
“Contohnya, aturan perjalanan dinas adalah dari kota ke bandara. Tetapi tidak antarkabupaten. Nah, terkait perjalanan dalam daerah, silahkan rombongan mendalami merujuk aturan yang berlaku. Karena standar itulah yang harus diperjuangkan agar bisa berubah sesuai kondisi daerah,” tambahnya. (adv/dhi/oke)
Teks foto: 5opening SERIUS: Diskusi antara rombongan DPRD dan Pemprov Kaltim saat berkonsultasi di Kementerian Keuangan, Jakarta (4/2).