SAMARINDA, BERITAKALTIM.com- Pemblokiran 22 situs yang dinilai mengandung unsur radikalisme dan SARA mengundang protes keras kalangan tertentu. Umumnya menyerang pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang dianggap sebagai pemerintahan diktator dan tidak menghargai perbedaan pendapat.
Tapi sebenarnya masalah pemblokiran seperti itu bukan baru terjadi di era Jokowi. Seperti dimuat di laman viva.co.id tanggal 29 September 2011, pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir 300 laman (situs) yang dikategorikan radikal.
Situs-situs yang diblokir itu dilaporkan oleh sejumlah pihak selama 2011. “Dari 900 masukan di tahun 2011, sudah kita blokir 300. Yang lainnya terkategori bukan radikal,” kata menkominfo, Tifatul Sembiring di Jakarta, Kamis 29 September 2011. “Nggak usah diomongin juga sudah kita blokir.”
Menurut Tifatul, tidak mudah untuk menyatakan sebuah laman memuat ajaran radikalisme. Radikalisme, kata dia, tidak bisa didasarkan pada perbedaan paham saja. “Hal seperti itu bisa karena beda pemahaman. Kalau orang tidak setuju dengan ide kita dikatakan radikal, padahal kan belum tentu juga,” kata dia.
Tifatul mengatakan, kementeriannya menggunakan kriteria yang ada dalam undang-undang untuk memblokir situs-situs yang dianggap mengajarkan paham radikalisme. Apa kriteria Kemenkominfo itu? “Melanggar UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi elektronik),” kata dia.
“Tidak boleh misalnya penghinaan atas nama SARA, menghasut kebencian atas dasar perbedaan, perjudian, atau sesuatu yang mengancam. Bukan orang ngomongnya kenceng sedikit itu dibilang radikal, itu beda pemikiran aja.”
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj, mendesak Menkominfo menutup situs yang menyebarkan paham radikalisme, yang semakin marak di internet. “Menkominfo jangan hanya bisa memblokir situs porno,” kata Said di Gedung PBNU, Jakarta, 27 September 2011. #l