Oleh: Nyarwi Ahmad, PhD *)
PERTEMUAN LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) dan Surya Paloh (SP) bisa dibaca dalam sejumlah perspektif. Pertama, pertemuan tersebut bisa saja dibaca sebagai pertemuan dua sahabat lama, yang sama-sama sudah lama berkiprah dalam panggung politik dan kepartaian di Indonesia.
Sebagaimana kita tahu, LBP merupakan salah satu elit Golkar dan Surya Paloh dulu juga pernah berkiprah di Golkar, meski sekarang sudah menjadi Ketua Umum Partai Nasdem.
Kedua, pertemuan tersebut juga mengindikasikan baik LBP maupun SP sama-sama punya agenda politik dan kebangsaan jelang Pilpres 2024 mendatang. Saya kira keduanya memiliki tawaran-tawaran agenda yang hendak dibicarakan dan negoisasikan. Baik menyangkut politik kebangsaan maupun politik elektoral. terkait dengan pembahasan politik elektoral, misalnya, soal siapa saja yang potensial menjadi sosok Capres dan Cawapres dan siapa saja yang layak didukung dalam perspektif masing-masing.
Tentu secara detail yang lebih tahu apa seperti apa agenda mereka, ya mereka berdua masing-masing atau orang-orang yang ada di lingkaran dekatnya.
Ketiga, peristiwa tersebut juga menandakan bahwa kerenggangan hubungan antara Presiden Jokowi dan Surya Paloh kian nyata menjelang Pilpres 2024 mendatang.
Pintu komunikasi politik Surya Paloh secara langsung kepada Presiden Jokowi tampaknya kian sempit. Keberadaan LBP dalam pertemuan tersebut juga bisa kita baca sebagai representasi dari orang dekat Presiden Jokowi.
Kita tahu LBP sudah lama menjadi orang dekat kepercayaan presiden Jokowi. Agenda yang dibawa LBP ketika bertemu Surya Paloh, saya kira tidak lepas dari agenda besar presiden Jokowi.
Bahkan bukan tidak mungkin, LBP mengemban misi atau mendapatkan penugasan dari Presiden Jokowi, ketika menemui Surya Paloh. Paling tidak menyampaikan pesan-pesan dari Presiden Jokowi kepada Surya Paloh.
Sebagaimana kita tahu, sejak Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres awal Oktober 2023 lalu, kehangatan dan keakraban relasi Surya Paloh dengan Presiden Jokowi tampak makin memudar, dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya.
Apakah pertemuan keduanya dapat menggoyang peta bursa 3 capres hari ini (Ganjar, Prabowo dan Anies), sehingga bisa berubah misalnya hanya dua capres saja, misalnya tanpa Anies?
Saya tidak yakin mengarah ke situ.
Apakah pertemuan keduanya dapat mewarnai bursa Cawapres yang potensial mendampingi masing-masing tokoh tersebut?
Kalau itu, menurut saya masih memungkinkan terjadi. Namun, pertemuan tersebut saya kira belum mampu mengerucutkan bursa pasangan koalisi parpol ataupun pasangan Capres-Cawapres, karena saat ini dan beberapa bulan kedepan, dinamika elit dan elektoral akan terus terjadi dan masih tercipta opsi-opsi yang terbuka.
Saya kira variabel ketua-ketua umum parpol lainnya, khususnya yang tergabung dalam KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) dan koalisi KIR (Kebangkitan Indonesia Raya) menjadi faktor penting yang menentukan, baik format pasangan koalisi parpol maupun pasangan capres-cawapres yang akan didaftarkan ke KPU pada bulan Oktober-November 2023 mendatang. #
*) Nyarwi Ahmad Phd, Dosen Komunikasi Politik UGM | Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS)