
SAMARINDA, BERITAKALTIM.com- Sekda Kota Samarinda Zulfakar dan Assisten III Setkot Samarinda Ridwan Tassa hadir di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda, Rabu (17/6/2015). Keduanya diperiksa sebagai saksi dugaan korupsi dana hibah ganti rugi lahan Waduk Benanga senilai Rp1,8 miliar tahun 2011 dengan terdakwa Abbas.
Keduanya dicecar majelis hakim diketuai Hongkun Ottoh seputar disposisi atau advis dokumen lahan seluas 32 hektare tersebut. Terutama dokumen berupa surat dari Bagian Kesra Setkot Samarinda yang berisi telaahan Bagian Perkotaan tentang perubahan anggaran yang dialihkan ke Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Dalam telaahan itu disebutkan bahwa pembayaran lahan untuk Waduk Benanga itu berbunyi dari ganti rugi berubah menjadi santunan. Sebagai Sekda, Zulfakar membuat disposisi agar diproses sesuai ketentuan berlaku.
“Apakah Anda tahu perubahan nomenklatur bahwa pembayaran dilakukan oleh BPKAD,” ujar Hongkun kepada Zulfakar. Menjawab pertanyaan itu, Zulfakar menyatakan dirinya saat itu baru saja menjabat Sekda menggantikan Fadly Illa, Sekda sebelumnya. Dia mengaku belum banyak tahu sehingga memberikan advis agar diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Surat itu berasal dari Kesra yang kala itu dijabat Dicki Zulkifli.
“Surat itu berisi pemberitahuan bahwa dari ganti rugi menjadi santunan. Jadi semuanya diproses di BPKAD,” kata Zulfakar. Selanjutnya bagaimana proses dan dokumen pencairan semuanya dilakukan di BPKAD. Cuma dia memang mendengar dana itu sudah dicairkan. “Saya mendengar saja,” ujar Zulfakar menjawab Hongkun.
Zulfakar juga berkilah dirinya tak banyak tahu soal proses pembayaran lahan seperti ini karena sebelum menjadi Sekda dirinya menjabat Assisten II Setkot Samarinda. Sementara pembayaran lahan seperti ini biasanya dibahas di Assisten I yang membidangi Pemerintahan dan Perkotaan. “Saya juga tidak tahu soal surat-surat tanahnya seperti apa, siapa yang menerima dan prosesnya juga tidak tahu,” kata Zulfakar.
Demikian pula Ridwan Tassa, kendati sebagai Assisten III yang membidangi Kesra dan Humas, dia mengaku advis pada surat yang dibuat Bagian Kesra itu hanyalah disposisi administrasi yang lazim dilakukan pada setiap surat yang berasal dari bidang tanggung jawabnya sebelum diadvis Sekda. Dia juga mengaku tak secara detail bagaimana akhirnya lahan itu dibayar yang ternyata tidak sampai sepenuhnya ke pemilik lahan.
“Saya tahu ini bermasalah saat diperiksa penyidik (sebagai saksi). Saya memang bawahi Kesra dan Humas. Saya memang tanda tangan surat pemberitahuan yang dibuat Kesra dan disampaikan ke Sekda itu,” katanya.
Diketahui, kasus ini jadi masalah karena dari uang pembayaran Rp1,8 miliar hanya sampai ke pemilik lahan masing-masing Rp5 juta. Ini terjadi karena adanya kongkalikong para ‘pengurus’ alias calo yang mengurusnya. Yakni, Abbas, Johansyah, Abidin dan Naim. Tapi kini baru Abbas yang masuk pengadilan dan duduk di kursi pesakitan. Abbas menerima Rp800 juta, Abidin Rp200 juta, Johansyah Rp400 juta, dan Naim Rp400 juta. Johansyah yang berperan sebagai ketua kelompok tani, Abidin dan Abbas membantu mengurus surat menyurat, dan Naim membantu melobi ke Pemkot hingga DPRD Kaltim agar dibayar.
Naim dan Johansyah juga bersaksi bersamaan dengan Zulfakar dan Ridwan Tassa. Naim dalam penjelasannya mengakui membantu Abbas mengurus pembayaran lahan tersebut. Dia mengaku menghubungi Busrani, Assisten I Setkot Samarinda yang menyarankan mereka mencari NJOP. Naim juga mengaku mendatangi Dahri Yasin, anggota Komisi I DPRD Kaltim agar membantu menganggarkan dari APBD Kaltim melalui Pemkot Samarinda. #saaludin as
Comments are closed.