Bisnis batu bara semakin lesu. Hanya tinggal beberapa perusahaan yang beroperasi di Samarinda. Itupun, kondisinya megap-megap. Beberapa pengusahanya banting setir. Sebagian membiarkan areal tambangnya berubah jadi ilalang, sambil menunggu harga batu bara sehat kembali.
Sebagian lagi ‘menghilang’. Ada yang meninggalkan jejak dengan membiarkan areal eks tambang terbuka, meninggalkan danau-danau yang sepintas airnya begitu jernih. Banyak juga yang tak meninggalkan jejak, sehingga pemerintah sulit menghubungi kembali.
Sisa – sisa kejayaan bisnis batu bara di Kota Samarinda pelan-pelan membuka mata hati warga; inilah saatnya menerima dampak dari eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan itu. Kerusakan lingkungan dengan kolam-kolam terbuka di mana-mana.
Sejak terjadi pembukaan lahan areal batu bara, tak sedikit rumah yang merasakan dampak langsung ketika hujan turun. Air yang mengalir dari kawasan lebih tinggi membawa lumpur yang kemudian mengendap membuat dangkal parit-parit serta anak sungai.
Pendangkalan itu mau tak mau berakibat pula banjir yang tidak biasa. Kawasan yang sejak berpuluh tahun, bahkan beratur tahun tak merasakan genangan air, banyak yang berubah. Di kota Samarinda terkini, setengah jam saja hujan deras sudah berakibat banjir dibeberapa kawasan tertentu.
Warga yang sibuk tak pernah mengira jika pemerintah lokal membebani kota perdagangan itu dengan izin-izin pertambangan batu bara. Ada ratusan izin dikeluarkan, dengan skala luas bervariasi. Bahkan yang hanya hitungan 2 hektar dan dekat dengan rumah-rumah penduduk.
Paska penambangan, masyarakat menjadi kaget karena disekitar rumah mereka terdapat lubang-lubang tambang yang ditinggal oleh pengusahanya. Bukan sekedar lubang, tapi memiliki kedalaman air mirip danau sampai puluhan meter.
Perusahaan tidak menimbunnya kembali seperti layaknya aturan pertambangan. Akibat yang terjadi, sudah 9 nyawa anak-anak yang mati tenggelam di kolam-kolam itu.
Pemerintah dan polisi bukan tidak tahu. Tapi mereka diam, seperti tak punya kuasa untuk memerintahkan perusahaan penambang yang menggali kolam untuk mereklamasi kembali. Bahkan ketika sudah jelas ada anak-anak yang mati, polisi pun tak bisa menghukum pengusaha maupun penguasa yang melakukan pembiaran.
Memang begitu ironis. Pemerintah dan polisi melempem ketika berhadapan dengan pengusaha tambang. Bahkan Gubernur Kaltim yang punya tugas melindungi rakyatnya, juga lepas tangan. Para pejabat di provinsi malah begitu asyik dengan programnya seperti memperjuangkan otonomi khusus kepada pemerintah pusat.
Kelompok masyarakat pun hanya bisa merasa prihatin. Di media-media sosial tercermin kekecewaan masyarakat Kota Samarinda itu. Lagi-lagi, pemerintah tak menanggapi.
Beruntung warga Kota Samarinda punya sejumlah aktivis yang peduli terhadap peristiwa kemanusiaan ini. Sebut saja JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Kaltim bersama aktivis lingkungan lainnya. Hanya mereka yang mau menyuarakan. Tak hanya berusaha mengetuk hati para pejabat di Samarinda dan provinsi Kaltim, tapi sampai juga ke pemerintah pusat. Seperti yang dilakukan dengan membawa orangtua korban tenggelam menghadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. #bongkar/edisi 370